Henti (1)

9 2 1
                                    

Rintik kian datang ketika awan menjadi suram, langit yang awalnya tersenyum sekarang terlihat muram. Perlahan bulir bulir bening jatuh di membasahi raga yang sedang terdiam.

Hujan perlahan mengguyur tubuh mungilnya, kemudian dihalangi oleh benda berbentuk setengah bulat namun memiliki volume di dalamnya.

" Lara ? " panggilan seorang remaja membuyarkan lamunan seorang gadis yang tengah berdiri di tepi jalan yang sepi. mata sang gadis kemudian mengerjap pelan lalu segera menatap pemuda yang memanggilnya tadi

" Oh ?? hai aksara " senyuman teduh terukir dibibir tipis sang gadis

" Cepet pulang, besok seragamnya masih dipake Ra, besok mau pake apa kalau seragam ini basah, hm ? " seakan tak menyadari kala hujan telah membasahi bajunya, ia hanya mengangguk dan segera berlari ke arah gang sempit untuk kembali pulang

Aksara hanya menggeleng sembari melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan tetap setia memegang payung di genggaman tangannya.

[ Alara Sanasta ]

Terlihat lonceng toko yang berbunyi ketika pintu dari kayu itu terbuka, memperlihatkan tubuh seorang gadis yang basah karena derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

Alara Sanasta namanya, memang benar nama itu menjadi gambaran takdir, karena nama Alara yang melekat di raganya sering membawa petaka bagi dirinya, Lara yang memiliki arti sakit atau menderita memang benar adanya. Alara adalah gadis sebatang kara, yang kini diasuh oleh paman dari ibunya. Meskipun hanyalah sebuah titipan, tetapi Alara dijaga dengan baik oleh paman dan bibinya, karena pasangan itu belum memiliki buah hati dari hasil asmara yang mereka jalin selama ini.

Tak lama setelah sang paman melihat keponakannya yang terlihat kacau, ia langsung memanggil sang istri untuk menemui Alara, kemudian sang istri dengan cekatan menarik Alara salam pelukan hangatnya, tidak peduli sebasah apa Alara sekarang, namun sang bibi mengerti jika Alara sedang menahan sakit yang teramat sakit.

" Bibi disini sayang, jangan takut akan hujan yang datang, mereka hanya berkunjung bukan untuk tinggal " ucap sang bibi menenangkan.

Alara yang sedari tadi hanya diam, menahan tangis yang tak terbendung setiap kali hujan datang. Memori seakan terus menerus terulang ketika ia merasakan dinginnya hujan yang menyentuh kulit halusnya ditengah angin kencang, membuatnya mengingat tragedi 7 tahun silam. Tragedi kelam dimana sang Bunda dan Ayah mengalami kecelakaan yang membuat mereka meregang nyawa di tempat kejadian.

[ Flashback ]

Hujan kembali datang dikota Jogja, membasahi setiap sudut kota yang awalnya kering menjadi penuh dengan genangan air. Tepat pada tanggal 08 Mei 2017 pukul 18.00 terjadi kecelakaan maut antara truk dan mobil pribadi di jalanan yang padat akan lalu lalangnya, meski samar tapi pasti. Kita bisa melihat raga kecil yang tengah menangis tersedu-sedu dipelukan sang bibi yang juga pipinya dibasahi dengan derai air mata.

" BUNDA ! AYAH !! JANGAN TINGGALIN ARA SENDIRIAN, KALIAN HARUS KELUAR DARI MOBIL ITU !! BUNDA AYAHH !! " teriak yang seharusnya memekakkan telinga, berubah menjadi alunan melodi yang menyayat hati ketika orang orang mendengarkannya.

" Alara tenang nak, semuanya sedang berusaha disana, shht.. jangan menangis " ucap seseorang yang lebih tua, berusaha untuk mendekap dan membawa gadis kecil itu dalam kehangatan yang seharusnya ia rasakan ketika hari ulang tahunnya tiba

" BIBI !? BUNDA SAMA AYAH DISANA, MEREKA GABISA KELUAR BII !! " dengan sekuat tenaga ia melepaskan pelukan sang bibi dan bersikeras untuk melihat kondisi kedua orang tuanya yang masih terjebak di dalam sana

" Bunda.. Ayah.. hiks - " dengan jelas Alara melihat sang bunda tersenyum saat melihatnya, begitu juga sang ayah yang berusaha menyinggung senyuman saat darah segar tengah mengalir di pelipisnya, membuat jantung Alara berdegup kencang dengan nafas tersengal

" SEMUANYA MENJAUH ! MOBIL DI DEPAN AKAN SEGERA MELEDAK KARENA MESIN MOBIL YANG RUSAK !! CEPAT MENJAUH " teriakan dari seorang polisi segera membuat kerumunan yang awalnya melingkar menjadi berpencar, tak terkecuali Alara dan Bibinya yang berusaha menjauh dari tempat kejadian

" ENGGA BIBI, BUNDA SAMA AYAH HARUS SELAMAT HIKS! BUNDAAA AYAHH JANGANN " dingin, suasana semakin mencekam karena hujan semakin lebat. Alara menangis sejadi jadinya, semesta seakan memberi penghakiman mutlak kepada gadis kecil yang harusnya beranjak dewasa.

Kepulan asap perlahan memenuhi disekitar area mobil, tangan kecilnya berusaha meraih lambaian kecil dari sang ayah untuk terakhir kalinya, diikuti senyum tulus dari sang ibunda yang berada tepat di samping ayahnya. Gerak bibir yang samar dapat Alara lihat dari kejauhan, sang ayah mengatakan " Selamat tinggal putri ayah " Sepersekian detik kemudian suara ledakan terdengar nyaring, semuanya terkejut, bahkan seseorang yang terus menangis sejak tadi hanya bisa meraung frustasi karena merasa gagal untuk pergi dan menarik kedua orangtuanya sebelum malaikat menarik nyawa mereka.

" Hujan.. aku membencimu. "
— Alara Sanasta

 " — Alara Sanasta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


( 𐁀 )  .  .  𝖲𝖺𝗇𝗀 𝗉𝖾𝗋𝗍𝗂𝗐𝗂 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖾𝗋𝗂 𝖻𝖾𝗋𝗄𝖺𝗁 𝗆𝖾𝗅𝖺𝗅𝗎𝗂 𝗌𝖾𝗇𝖺𝗇𝖽𝗎𝗇𝗀 𝗆𝖾𝗅𝗈𝖽𝗂 𝗎𝗇𝗍𝗎𝗄 𝗄𝖾𝖽𝖺𝗆𝖺𝗂𝖺𝗇 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗌𝖺𝗇𝗍𝗈𝗌𝖺, 𝖻𝖾𝗋𝗁𝖺𝗋𝖺𝗉 𝗌𝖾𝗆𝗎𝖺 𝗂𝗇𝗂 𝖽𝖺𝗉𝖺𝗍 𝖻𝖾𝗋𝗌𝖺𝗍𝗎 𝗅𝖺𝗒𝖺𝗄𝗇𝗒𝖺 𝗄𝖾𝗋𝗍𝖺𝗌 𝖽𝖺𝗇 𝗉𝖾𝗇𝖺 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗆𝖾𝗇𝗃𝖺𝖽𝗂 𝖺𝗄𝗌𝖺𝗋𝖺, 𝗍𝖺𝗉𝗂 𝗃𝗎𝗃𝗎𝗋 𝗂𝗍𝗎 𝗌𝖾𝗆𝗎𝖺 𝗄𝖾𝗅𝗂𝗋𝗎, 𝗄𝖺𝗋𝖾𝗇𝖺 𝗄𝖾𝗇𝗒𝖺𝗍𝖺𝖺𝗇𝗇𝗒𝖺 𝗄𝗂𝗍𝖺 𝖻𝖺𝗀𝖺𝗂𝗄𝖺𝗇 𝗍𝖺𝗄𝖽𝗂𝗋 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝖽𝗂𝗍𝖾𝗇𝗍𝖺𝗇𝗀 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗋𝗎𝗇𝗍𝗎𝗍𝖺𝗇 𝖽𝗈𝖺 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝖾𝗇𝗀𝗄𝖺𝗎 𝖽𝖺𝗇 𝖺𝗄𝗎 𝗉𝖺𝗇𝗃𝖺𝗍𝗄𝖺𝗇 𝖻𝖾𝗋𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗄𝖺𝗅𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗁𝖺𝖽𝖺𝗉 𝗍𝗎𝗁𝖺𝗇 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗆𝖺𝗁𝖺 𝖾𝗌𝖺.

ditulis oleh Alara, sebagai saksi bisu akan kejamnya dunia yang telah memporak-porandakan kehidupannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang Jogja dan LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang