21. Persiapan

417 86 5
                                    

"Selain itu ada beberapa hal tentang pernikahan yang harus kita bahas." Nahla menuangkan susu ke dalam mangkuk sereal. "Gue tau ini pernikahan kontrak. Meski begitu gue mau pernikahan ini gue yang atur. Karena ini bersifat privat, gue mau ganti lokasi pernikahan. Termasuk konsep yang lo pilih sama Aruna."

"Lo mau pernikahan seperti apa?" Regan menusuk buah melon yang sudah terpotong kecil lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Nahla diam sebentar. Nahla tahu ini hanya pernikahan di bawah perjanjian, mungkin ini pernikahan pertama dan terakhir Nahla. Regan bisa melanjutkan hidupnya usai bercerai, tapi hidup Nahla berhenti disana. Nahla juga mempunyai pernikahan impian yang harus ia wujudkan.

"Minimalist wedding?" Nahla mengajukan idenya.

Regan menarik laptop Nahla. Mengetik sesuatu lalu menunjukkan pada Nahla. "Bali?"

"Em?" Nahla mengerjap melihat hotel yang Regan tunjukkan.

"Gue tahu apa yang lo mau, kita bukan orang yang baru kenal dua hari yang lalu." Regan membuka botol air mineral lalu meneguknya hingga setengah. "Akan gue ganti konsepnya, sebenarnya nggak jauh beda sama yang di pilih sama Aruna. Acara sakral pagi hari di lanjut resepsi siang hari dan malamnya intimate wedding."

Nahla mengangguk.

"Untuk acara sakral kita adakan di salah satu tempat ibadah di Bali—" Regan mengetik lokasi lalu menunjukkannya pada Nahla. "Untuk resepsi lo mau indor apa outdor?"

"Indor aja, intimate wedding baru outdor."

"Oke." Regan memperlihatkan lokasi hotel untuk resepsi. "Untuk kostum?"

"Untuk acara sakral gue mau gaun yang simpel aja." Nahla memasukkan sesendok demi sesendok sereal ke mulutnya.

Regan menyambar handophone nya, menelpon seseorang. "Dimana? Ke apartemen gue sekarang."

Tidak sampai sepuluh menit bel apartemen berbunyi. Regan membuka pintu lalu kembali ke dalam di ikuti seorang pria yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Pria itu masih memakai baju tidur.

"Hai." Sapanya kikuk dengan satu tangan kanan terangkat menyapa lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin. Saya Boy, asisten pribadi Regan. Panggil apa saja terserah."

Nahla membalas uluran tangan Boy. "Nahla."

Boy menarik kursi duduk di hadapan Regan sementara Regan sudah duduk di samping Nahla.

"Lo kasih lihat gaun pernikahan sama dia," kata Regan.

Boy mengangguk, membuka iPad lalu memberikannya pada Nahla. "Ini ada beberapa contoh gaun pernikahan yang ready. Nyonya—" Nahla dan Regan sontak menatap Boy. "Terus saya harus panggil apa?" tanya Boy menggaruk belakang kepalanya.

"Nahla aja." kata Nahla cepat.

"Oke, Nyonya Nahla."

"Lo kenapa jadi kaku gitu?" Regan mengerutkan keningnya. "Biasanya lo bersikap nggak sopan ke gue?"

"Ada istilah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi. Itu prinsip hidup saya." Boy tersenyum ramah membuat Regan melempar satu sereal ke wajahnya. "Nyonya tinggal pilih beberapa nanti saya minta pelayan untuk membawakannya kemari."

"Kita nggak perlu kesana?"

"Tidak perlu, menghabiskan waktu. Jika ada jalan yang mudah kenapa pilih yang susah sementara uang Pak Regan tumpah-tumpah." Boy mengedipkan matanya pada Regan. "Selain itu ada beberapa sepatu, bunga dan aksesoris yang akan di bawakan."

Nahla mengangguk. Sembari menunggu beberapa gaun dan yang lainnya datang, pembahasan beralih.

"Kak, untuk acara resepsi ada dua kostum kan?" Nahla berdeham melirik Regan. "Kalau bisa kostum pertama aku pakai adat Palembang ya, Kak. Karena Mama berasal dari Palembang."

"Bisa banget." Boy menyetujui. "Apalagi?"

"Itu aja," Nahla menoleh menatap Regan. "Lo setuju kan?"

"Emang bisa gue menolak?"

"Nggak." Nahla bersemangat terlebih melihat Regan mendengus pelan.

Tidak lama kemudian belasan orang datang membawa semua perlengkapan pernikahan. Kurang lebih dua puluh gaun sedang di pajang. Apartemen seketika berubah menjadi toko. Nahla dibantu oleh seorang desainer yang sangat paham di bidangnya. Nahla mencoba semua gaun pengantin untuk mencari yang cocok dan pas. Gaun ini akan di pakai untuk acara sakral dan menjadi kostum ke dua resepsi. Karena kostum pertama Nahla memutuskan akan memakai adat Palembang.

Selain itu ada perwakilan WO yang datang untuk membahas jalannya pernikahan. Nahla sampai pusing sendiri karena ini di lakukan dua hari sebelum acara dilaksanakan. Sistem kebut semalam sepertinya bukan hanya dilakukan saat ujian, tapi juga pernikahan.

Jam terus berjalan, Boy sudah memesankan makan siang prasmanan untuk orang yang datang yang berjumlah kurang lebih empat puluh orang.

"Tiket sudah di pesan, undangan online sudah diperbaiki dan daftar tamu yang hadir sudah di pilah lagi." Boy memberi laporan pada Regan yang saat ini sedang makan siang di sofa sambil menatap Nahla yang sedang berbicara pada perancang busana. "Gue pulang dulu, belum mandi."

Regan menoleh menatap Boy dengan kening berkerut. "Lima menit."

Boy menggeram ingin mencabik-cabik bosnya namun tertahan. Ia menghembuskan nafasnya lalu melangkah pergi.

Menunjukkan pukul lima sore, semua pembahasan akhirnya dihentikan dan semua orang satu persatu pulang. Regan sudah bersiap, mengenakan kaos hitam dan celana jins pendek pria. Duduk di sofa menatap handhone sambil menunggu Nahla.

"Nggak lama kan? Gue capek mau istirahat," Nahla keluar dari pintu sambil mengalungkan tali tas ke badannya.

"Cari cincin aja,"

Nahla mengangguk. Keduanya keluar bersamaan menuju parkiran. Jam tujuh malam melintasi padatnya jalanan di hari weekend.

Tiba di salah satu toko perhiasan, keduanya di sambut hangat menuju ruang vip. Para pelayan mengeluarkan semua koleksi terbaiknya. Regan dan Nahla memilih yang pas dan cocok dengan selera keduanya.

Pilihan Nahla jatuh pada white diamond ring, dengan satu berlian yang menonjol memperlihatkan kesan elegan sekaligus simpel sangat cocok untuk Nahla, pelayan toko juga mengatakan hal tersebut.

"Ini koleksi terakhir kami, dan hanya ada dua. Desainernya sendiri membuatnya butuh waktu dua tahun yang penuh dengan makna dan cinta. Beliau berharap untuk pasangan yang memilih cincin couple ini kehidupan ke depannya di penuhi dengan rasa cinta yang terus tumbuh dari waktu ke waktu, tidak hilang di telan masa. Sama seperti cinta sang desainer pada istrinya yang telah wafat dua tahun lalu." Penjelasan sang pelayan membuat Nahla tersenyum tipis. Bingung untuk menanggapi. Mungkin reaksinya berbeda jika keadaannya tidak seperti sekarang.

Terlepas dari itu semua dan paket sudah dibungkus. Keduanya memutuskan untuk makan malam.

"Mau makan apa?" tanya Regan tanpa menatap Nahla. Ia sibuk mengemudi sambil membalas pesan.

Nahla tidak menjawab. Ia menurunkan kaca mobil, melipat tangannya di atas kaca mobil yang sudah di turunkan penuh. Kepalanya ia letakkan di atas tangan. Rambutnya yang tergerai berterbangan ke belakang terkena angin malam.

Sejenak Nahla tumpahkan semua masalah dan solusi pada dunia. Mengadu pada sang pemuja bahwa keputusan yang ia ambil semoga tidak salah.

"Na," tegur Regan, ia meletakkan handphone ke samping. "Mau makan apa?" tanyanya lagi.

Nahla duduk ke kursi semula, menutup kaca mobil. "Angkringan aja."

Regan menurunkan kecepatan, melihat dagangan dan tempat yang nyaman untuk makan. Regan memakirkan mobilnya di pinggir jalan.

"Lo cari tempat dulu, nanti gue nyusul."

Nahla mengangguk, mengambil tasnya Nahla turun terlebih dahulu.

Regan mengunci pintu mobil dari dalam. Ia menelpon seseorang. "Ya nggak bisa gitu Aruna." ujar Regan penuh penekanan. Melanjutkan perdebatan keduanya di obrolan. "Sekarang dimana?"

Regan melihat jam di pergelangan tangannya. "Satu jam lagi gue kesana."

TBC

Regan & NahlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang