---
Panas matahari terasa menyengat, menusuk hingga ke kulit kepala, namun tak menggoyahkan niat ketiga anak yang duduk bersila di depan sebuah mobil pick up yang terparkir di halaman. Debu berterbangan setiap kali angin bertiup, tapi mereka tak peduli, asyik dengan dunia mereka sendiri.
"Heh... heh... jangan ambil makananku, dong!" seru Aska, anak lelaki gempal itu, kepada temannya yang tengah memegang ciki kesukaannya. Dengan cepat ia meraih ciki itu dari tangan Aski, kembarannya, sambil menatap sebal.
"Kalau mau, ya beli sendiri! Jangan makan punya kawan!" omelnya, mulutnya penuh dengan kacang atom.
Aski, si jahil yang selalu tersenyum lebar, hanya terkekeh dan menepuk lengan saudaranya. "Loh, kan ada ciki si Aska yang tampan ini. Kenapa aku harus beli?" ucapnya santai.
Aku hanya tersenyum kecil melihat kelakuan dua bersaudara itu. Mereka adalah Aska dan Aski, dua teman masa kecilku, yang sebentar lagi akan pergi jauh. Dua sahabat yang selalu mengisi hari-hariku dengan tawa dan candaan. Aska dengan tubuh gempalnya yang selalu membawa ciki kemana pun ia pergi, dan Aski, si jahil yang tak pernah kehabisan akal untuk mengganggu.
Kami bersama sejak kecil, bermain petak umpet, berenang di sungai, memancing, hingga belajar bersama di kelas yang sama sampai akhir Sekolah Menengah Atas ini. Kini, dengan berat hati, aku harus berpisah dengan mereka.
"Aku tahu bangku kuliah pasti akan sulit. Budaya yang berbeda, sistem belajar yang mungkin membuat pusing. Tapi, aku berharap kalian tetap berpegang pada cita-cita kalian," ucapku dengan suara bergetar. "Jangan lupa kabari aku lewat email, sebulan sekali juga tak apa. Setidaknya aku tahu kalian baik-baik saja."
Aku menyerahkan dua bungkusan kecil kepada mereka. Aska tersenyum, walau matanya sudah mulai berkaca-kaca, dan Aski, meskipun biasanya jahil, tampak lebih pendiam hari ini. Mereka memelukku erat, dan aku membalas pelukan itu dengan berat hati.
Mobil pick up yang membawa mereka mulai bergerak perlahan, meninggalkan halaman rumah. Aku menatap Aska yang sudah menangis sesenggukan di dalam mobil, sementara Aski melambai dengan wajah murung. Aku terus melambaikan tangan sampai mobil itu tak terlihat lagi.
Desa Riterda, desa dengan sejuta kunang-kunang, terasa begitu sepi tanpa kehadiran mereka. Aku tahu, ini mungkin hari terakhir aku melihat mereka, karena mereka tidak akan kembali. Mereka akan melanjutkan hidup di negeri yang jauh, Negeri Merah.
Setelah lama berdiri mematung, meresapi perpisahan yang baru saja terjadi, aku akhirnya berbalik, berjalan lemah menuju rumah yang hanya beberapa langkah dari tempat itu. Tubuhku terasa lelah, bukan hanya karena seharian membantu persiapan mereka, tapi juga karena perasaan yang berat melepaskan dua teman masa kecilku.
"Aku harus segera beristirahat sebelum sore menjelang," gumamku pada diri sendiri.
Malam itu, setelah ayam-ayamku akhirnya masuk ke kandang dan langit mulai gelap, aku duduk di ruang tengah. Lampu minyak di sebelahku memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan samar di dinding. Jauh di sana, samar-samar terdengar suara ibu-ibu desa memarahi anak-anaknya yang tak mau berhenti bermain.
Aku mengangkat secangkir teh hangat dan mulai membuka buku tua dengan sampul yang sudah menguning. Satu halaman baru saja terbaca ketika suara lembut terdengar dari balik pintu.
"Suhastuwal, Ni Ria," seseorang menyapa dengan nada yang tenang.
Aku mengerutkan kening, terdiam sejenak mencoba mengenali suara itu.
"Suhastupal... siapa ya? Aku tidak mengundang tamu, dan bukan harinya orang Amran datang padaku."
Dari balik pintu, suara itu menjawab, "Aku Ni Syira. Aku datang untuk menyampaikan pesan dari Rai Gema. Datanglah ke Amran, sudah saatnya. Jangan lupakan janjimu, Ni Ria."
KAMU SEDANG MEMBACA
NI RIA
Adventure"Aku Niralia Renjanu. Amran sedang menungguku," bisikku. Ini cerita pertamaku, tolong bimbingannya ya.......