1: Ternyata Sesingkat Itu

1 0 0
                                    

Seperti latar dari kebanyakan kisah klasik, sore menjelang malam itu hujan. Langit Jakarta mengguyur bumi yang sedang kering-keringnya. Pertama kali aku bertemu denganmu. Kamu dengan kemeja kuning dan celana kargo hitam. Pertama kali saat pandang kita mengadu, aku menemukan matamu yang sayu. Mungkin kau lelah, tapi senyum tipis tetap terpatri di wajahmu.

"Hai." Kataku sedikit senyum sambil gugup. Aku mengacungkan tangan, memintamu untuk menjabatnya. Kau pun menyambut tanganku. Akhirnya setelah sepuluh bulan kita hanya bercengkrama dalam maya, kau nyata berada di depanku. Aku bertanya-tanya, bagaimana kesan pertamu terhadapku?

Kamu balas tersenyum, sama tipisnya sepertiku. "Rania."

"Ya. Kita mau kemana?" Tanyaku. Kemudian aku menambahkan sembari melihat jam di ponselku. "Kalau bisa tempat yang dekat stasiun saja ya? Supaya aku nanti gampang pulangnya."

Kamu berpikir sebentar sambil berjalan. Aku berusaha mengiringi langkah juga. Kita berjalan beriringan. Sambil sesekali aku melambatkan langkah, mencoba mengamatimu dari belakang. Sedang kau sering sibuk dengan ponsel. Ya, aku paham dengan pekerjaan menggunung yang kamu sering ceritakan padaku. Tak apa, aku memakluminya. "Indomaret sekitar sini bagaimana?"

Kupikir bukan hal buruk. Bukankah kursi indomaret adalah tempat yang tepat untuk merenung? Aku tertawa ringan dalam hati. Tapi ku yakin kali ini tidak akan merenung karena aku bersamamu. Tidak tahu ya kalau justru nanti kita kita akan merenung bersama. Aku segera menyingkirkan pemikiran konyol itu waktu kamu berhenti berjalan. Mempersilakanku untuk menempelkan kartu keretaku terlebih dahulu.

"Kamu darimana?" Kamu bertanya. Kita berjalan beriringan lagi menuju parkiran motor. Kamu menyugar rambut belah tengahmu. Aku iri karena rambutmu lurus, lebat dan jatuh. Berbeda sekali dengan rambutku yang megar seperti singa.

"Aku dari perpustakaan. Sedang mencari referensi untuk bahan skripsiku."

"Skripsimu sudah sampai mana?" Kamu mengeluarkan motor, lalu tersenyum pada penjaga penitipan motor itu. Sepertinya kamu biasa menitipkannya disitu karena kalian terlihat akrab.

"Sebentar lagi selesai." Aku berbohong. Aku tidak mencari referensi untuk skripsi karena skripsiku sudah selesai. Aku hanya iseng mengunjungi perpustakaan yang dekat dengan tempat kerjamu dan meminjam satu buku Max Havelaar untuk mengusir kebosanan akut jika aku berada di rumah seharian. Tapi ada alasan lain yang lebih besar. Aku sengaja menyingkronkan waktu pulang kerjamu supaya aku bisa menemukan alasan yang masuk akal untuk pulang bersama lalu mengajakmu bertemu untuk pertama kali.

"Baguslah." Katanya. Perjalanan tidak sampai sepuluh menit karena kita berdua sudah duduk di kursi Indomaret. Kita dipisahkan oleh meja bulat dan menghadap ke jalanan. Kau banyak bercerita. Lebih banyak porsi tentang pekerjaanmu dan sedikit mimpi-mimpimu. Matamu berbinar dan kali ini kamu lebih banyak tersenyum. Kadang tertawa kecil, kadang tersenyum miring. Aku lebih banyak mendengarkan dan sedikit kesimpulan yang kudapat kalau kamu mempunyai arah untuk hidupmu. Sialnya, aku menyukai pria seperti itu. Sialnya lagi, semudah itu kamu merebut hatiku bahkan tanpa berusaha.

Aku bercerita sedikit. Lebih banyak tentang perkuliahanku. Karena memang tidak ada yang menarik sampai saat kamu memberi warna. Saat itu aku mulai berharap kamu punya perasaan yang sama. Kamu lebih sering mengirimku pesan. Tapi tidak setiap waktu, bisa kuhitung seperti jadwal keramas. Seminggu tiga kali. Sejak saat itu notifikasi darimu adalah hal yang aku tunggu. Sayangnya aku terlalu malu untuk memulai percakapan duluan.

Kukira setelah pertemuan itu kita akan lebih dekat. Ternyata ekspektasiku terlalu jauh. Semakin lama kau hanya mengirimiku pesan satu minggu sekali, padahal aku berharap banyak. Kamu tahu? Aku tipe orang yang tidak suka mengumbar hidupku di sosial media. Tapi waktu itu, aku rajin sekali membuat status hanya untuk menarik perhatianmu. Kadang kau tertarik, kadang juga tidak. Tak apa, percakapan singkat pun sudah membuatku senang.

Kurasa aku berada dipuncak aku tidak bisa lagi menanggungnya. Aku mengirimu pesan dan berkata: Aku rindu

Kamu membalas: Mengapa tiba-tiba?

Aku membalas: Tidak apa-apa.

Kamu membalas: Kalau aku sudah punya pacar bagaimana?

Bukan aku yang tiba-tiba. Ternyata kamu yang tiba-tiba sudah punya pacar. Aku terdiam sesaat. Lalu memastikan sekali lagi: Jadi benar kamu punya pacar?

Kamu membalas: Ya. Kamu tidak apa-apa? Jika kamu ingin marah, keluarkanlah.

Selamat. Selamat karena kamu telah berhasil melukai ego dan harga diriku. Jadi dengan mengumpulkan harga diri yang tersisa aku membalas: Tidak apa-apa. Santai saja.

Sedari awal aku sadar bahwa aku bukan yang pertama. Temanku juga berkata hal yang sama. Jadi kesimpulannya aku hanya badut barumu, ya? Kau datang bawa secercah harapan. Hatiku jadi terbuka. Obrolan ringan setiap hari. Tumbuhkan rasa di hati. Buatku yakinkan diri kamulah yang aku cari.

Mungkin aku hanya salah satu opsimu. Aku tidak akan menahanmu untuk tetap tinggal. Aku sadar, aku sangat layak mendapat yang jauh lebih baik. Sekarang rasanya sudah biasa saja. Sekarang setelah semuanya berlalu, lukaku sudah sembuh. 


Aku bertanya-tanya, mungkinkah aku hanya jatuh suka dengan bayanganmu saja? Bayangan itu kubuat indah dengan sedemikian rupa.

***

Kamis, 19/09/2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serba - Serbi DuniamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang