"Senja di Antara Kita"
Aku pertama kali melihatnya di coffee shop dekat kampus. Senja yang memeluk hari itu seolah memberi isyarat bahwa pertemuan kami bukan kebetulan. Namanya Arga, dan dia duduk di meja sebelah, sibuk mengetik di laptopnya. Aku, seperti biasa, hanya mampir untuk membeli kopi dan melanjutkan tugas. Tapi, entah bagaimana, pandanganku terus tertarik padanya.
Arga terlihat sederhana—kaos hitam polos, rambut sedikit berantakan, tapi ada sesuatu yang membuatnya mencolok. Matanya fokus ke layar, jemarinya menari di keyboard, dan entah kenapa, aku merasa tertarik untuk tahu apa yang sedang dia kerjakan. Mungkin hanya karena aku butuh distraksi dari tumpukan tugas kuliah yang terasa semakin menyesakkan.
Saat aku berdiri untuk memesan kopi, dia menoleh sebentar. Pandangan kami bertemu, dan dia tersenyum tipis. Aku balas tersenyum canggung, lalu melanjutkan langkah. Hatiku berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
Sejak hari itu, aku sering melihatnya di sana. Kami mulai saling mengangguk saat berpapasan, hingga akhirnya sebuah kesempatan datang ketika satu-satunya tempat duduk kosong di kafe itu ada di mejanya.
"Boleh duduk di sini?" tanyaku saat itu.
Dia mengangguk, tersenyum lagi, lalu berkata, "Tentu, silakan."
Aku duduk dengan gugup, mencoba fokus pada laptop, tapi gagal. Aku merasakan atmosfer yang berbeda setiap kali ada di dekatnya. Arga, ternyata, sangat ramah. Kami mengobrol ringan, mulai dari topik kuliah, musik, hingga film. Percakapan terasa mengalir, dan tanpa sadar, waktu bergulir cepat. Saat itu, tak ada satu pun dari kami yang menyadari bahwa pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.
Satu pesan darinya beberapa hari kemudian mengubah semuanya. Dia mengajakku bertemu di taman dekat kampus setelah kuliah sore. "Aku ingin ngobrol lebih serius," katanya.
Aku tak tahu apa yang diharapkan, tapi antusiasmenya terasa menjalar padaku. Sore itu, senja kembali menjadi saksi ketika kami duduk di bangku taman.
"Aku suka sama kamu," kata Arga tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi aku bisa merasakan getaran di balik kata-katanya.
Dadaku bergetar. Aku tak menduga pengakuan secepat ini. Perasaanku padanya memang lebih dari sekadar teman sejak beberapa minggu terakhir, tapi aku masih ragu, apakah ini hanya ketertarikan sementara? Atau sesuatu yang lebih?
"Jujur, aku juga ngerasa ada yang beda sejak kita ngobrol," jawabku pelan. Aku tahu jawabanku bukan sekadar basa-basi. Ada perasaan yang tumbuh, walaupun aku sendiri belum sepenuhnya memahaminya.
Sejak malam itu, hubungan kami semakin dekat. Kami sering menghabiskan waktu berdua, kadang hanya berbicara panjang lebar di coffee shop, kadang menikmati malam di apartemennya sambil menonton film. Semakin sering bertemu, semakin sulit untuk menyangkal kenyataan bahwa hubungan ini mulai mengarah ke sesuatu yang lebih intens.
Suatu malam, ketika hujan turun deras, aku terjebak di apartemennya. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu berkata, "Kamu bisa nginap di sini kalau mau. Aman kok."
Aku tahu itu tawaran yang biasa, mengingat hujan tak kunjung reda. Tapi ada ketegangan yang tak terelakkan di antara kami. Aku mengangguk, setuju untuk menginap. Saat itu, kami berdua tahu, keputusan ini akan membawa hubungan kami ke tahap yang baru.
Ketika kami berdua duduk di sofa, jarak di antara kami semakin menipis. Tanpa kata, Arga mendekat, dan sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Ciumannya lembut, tapi perlahan menjadi lebih dalam, lebih penuh hasrat. Tubuhku merespons dengan alami, merasakan sensasi yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Kami tak banyak bicara malam itu. Tubuh kami yang berbicara, mengungkapkan segala kerinduan yang selama ini terpendam. Ada kehangatan, ada gairah, dan yang pasti, ada rasa sayang yang semakin sulit diingkari.
Pagi itu, aku terbangun di sampingnya. Suara hujan sudah mereda, dan matahari perlahan muncul dari balik tirai jendela. Aku menatap Arga yang masih tertidur, merasa damai sekaligus bimbang. Apakah hubungan ini hanya sekadar hasrat sesaat, atau sesuatu yang lebih dalam?
Arga membuka matanya, tersenyum padaku. "Selamat pagi," ucapnya lembut.
Aku tersenyum kembali. "Selamat pagi."
Tak ada yang berubah secara drastis setelah malam itu. Kami masih sering bertemu, masih saling berbagi cerita dan tawa. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kasual di antara kami. Mungkin cinta, mungkin juga bukan. Tapi satu hal yang pasti, senja pertama yang mempertemukan kami kini menjadi awal dari kisah yang terus kami jalani bersama.
Dan aku tahu, apapun akhirnya nanti, aku tak akan pernah menyesali perasaan yang pernah hadir di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Antara Kita
Teen FictionDeskripsi: "Senja di Antara Kita" adalah cerita cinta antara dua mahasiswa yang bertemu secara tak sengaja di sebuah coffee shop. Kisah mereka dimulai dari percakapan ringan yang berkembang menjadi hubungan yang lebih dalam dan intim. Dengan latar k...