Merdunya suara melodi rintik hujan, serta harumnya aroma tanah saat hujan itu turun, memberikan suatu ketenangan tersendiri bagi Lavanya Varsha. Dia adalah seorang gadis cantik yang tinggal di sebuah desa kecil bernama Desa Shitalam Vanam, yang jauh...
Gemercik air hujan yang terus membasahi Desa Shitalam Vanam, membuat seorang gadis cantik yang tengah berdiam diri di dalam sebuah kamar, menatap dengan sendu pada basahnya tanah akibat tangisan dari langit yang menghitam itu.
Lavanya, seorang gadis dengan rambut hitam nan panjangnya itu menghembuskan nafasnya pada kaca jendela. Ia menuliskan sebuah kata, ‘rindu’, dengan senyum kecut yang terlukis pada wajahnya.
Ia melangkahkan kakinya menuju setumpuk pita kaset yang tersusun dengan rapi, pada sebuah lemari berwarna putih di sudut kamarnya. Vanya mengambil sebuah pita kaset dengan bertuliskan ‘Bait Perindu' pada sudut atas pita kaset, menjadi judul lagu yang hendak ia dengarkan kali ini. Kemudian, ia memasukkan pita kaset itu pada dek lalu menutupnya kembali.
Merangkai aksara pelipur aku Membuang rasa tak menentu Bersama ragu dibalut rindu Rindu, bukan masalah waktu Rindu, bukan perihal menunggu Rindu, bukan kendala mata bertemu
Terdengar, suara alunan melodi pada pita kaset itu memenuhi ruang kamar Vanya. Harumnya lilin aromaterapi lavender, menjadi teman yang sangat serasi pada suasana sore hari ini. Segelas susu coklat hangat, menjadi pemanis yang sangat nikmat, kala Vanya tengah menulis bait-bait kata pada buku diary yang kini ia isi dengan sebuah pena yang menari kesana dan kemari, mengikuti arah tangan lentik Vanya yang menjadi tumpuan nya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tak terasa, buliran air bening yang lama terbendung kala menulis kalimat itu, luruh dan jatuh juga. Tak kuasa menahan rindu yang terus memberontak dalam dada, menjadi alasan bagaimana derasnya air mata itu.
Vanya menghapus air matanya dan menatap pada rintikan hujan yang kian mengecil dan tenang. “Sepertinya, Sang semesta sudah lelah mengeluarkan air matanya.” Kalimat itu keluar dari bibir Vanya.
Tiga ketukan pintu terdengar, dan membuyarkan lamunan Vanya. “Kak Vanya, dipanggil Bunda.” Terdengar, suara seorang gadis kecil dari balik pintu kamar Vanya. “Sepertinya itu Bella,” pikir Vanya.
“Iya. Sebentar, Kak Vanya keluar.” Setelah menjawab sahutan dari Bella, Vanya segera mengambil sepasang sandal yang berada di samping pintu, kemudian memakainya dan keluar menemui Bella.
“Benar dugaan ku.” Vanya bermonolog, kala ia sudah melihat siapa yang telah mengetuk pintu kamarnya tadi. “Yuk!” Vanya tersenyum dan mengajak Bella untuk pergi menemui Bunda.
Mereka berjalan beriringan, melewati sebuah taman yang menjadi sekat antara rumah Vanya dengan sebuah Panti Asuhan, yang diurus oleh Bunda. Kemudian, dengan melewati sebuah koridor dan masuk pada area Panti Asuhan itu.
Vanya menghentikan langkahnya, kala kedua matanya menangkap sebuah benda yang tergantung pada dinding ruang tamu itu. Sebuah lukisan seorang gadis kecil yang cantik tengah membelakanginya. Terlihat gaun berwarna merah muda, dengan rambut panjangnya yang menjuntai, mengenakan sebuah pita yang senada dengan gaun yang gadis kecil itu kenakan, seolah menghipnotis Vanya oleh lukisan yang menggantung di dinding itu.
“Kak?” Bella yang menyadari Vanya hanya diam saja pun, kembali mengusik lamunan Vanya.
“Oh? Iya?” Vanya mengerjapkan matanya berkali-kali, seolah meminta agar kesadarannya penuh kembali.
“Ayok. Kakak di panggil Bunda.”
“Oh? Iya. Ayok!”
Kemudian, keduanya kembali berjalan dan pergi menemui Bunda.