Nara menghela napas panjang, aroma amis dan bau tanah basah menyerbu hidungnya saat ia membuka pintu apartemen. "Chather, kamu lagi apa sih?!" gerutunya, matanya menyipit melihat pemandangan chaos di ruang tamu. Vas bunga kesayangan ibunya tergeletak di lantai, pecah berkeping-keping, isi vas yang berupa air dan bunga mawar merah berhamburan di lantai.
" YAK!! SHIBAL SAKIYA, CATHER!!!!" teriaknya lagi, kali ini lebih keras. Ia mengedarkan pandangan, menemukan jejak kaki kecil berlumuran tanah di karpet putih. "Kamu main tanah lagi, ya?!"
Chather, kucing berbulu abu-abu dengan mata biru tajam, sedang duduk santai di atas meja makan, menatap Nara dengan tatapan polos. Ekornya bergerak-gerak, seakan-akan mengatakan, "Aku tidak bersalah."
Nara menghela napas lagi. Ini bukan pertama kalinya Chather membuat kekacauan. Sejak ibunya meninggal, Chather seolah menjadi anak nakal yang tak terkendali. Nara tahu, Chather hanya merindukan kasih sayang ibunya, tetapi itu tidak membuat Nara lebih sabar.
"Chather, kamu harus belajar bersikap baik," kata Nara, sambil menunjuk ke arah vas bunga yang pecah. " Kalau tidak aku akan membuangmu. "
Chather hanya mendengus dan menjulurkan lidahnya, seakan-akan mengejek Nara.
Nara menghela napas, "Baiklah, aku akan membersihkan ini semua. Tapi besok, kamu harus belajar bersikap lebih baik, ya?"
Ia mulai membersihkan pecahan vas dan tanah yang berhamburan. Sambil membersihkan, ia teringat pada ibunya, yang selalu tersenyum hangat saat melihat Chather bermain.
"Mama, aku rindu kamu," bisik Nara, air matanya mulai menetes.
****
Nara menghela napas, menatap Chather yang sedang bersembunyi di balik sofa. "Chather, kamu mandi dulu, ya?" katanya, suaranya datar. Ia sebenarnya tidak suka kucing, tapi Chather adalah peninggalan dari ibunya, dan ia merasa bertanggung jawab untuk merawatnya.
Ia mengambil ember dan mengisi dengan air dingin. "Aku gak suka kucing, tapi aku harus bersikap baik sama kamu," gumamnya, sambil menambahkan sedikit sabun kucing.
Chather, yang menyadari niat Nara, langsung melompat ke lantai dan berlari ke arah kamar mandi. Nara mengejarnya dan menyeretnya ke dalam ember.
"Chather, jangan nakal!" kata Nara, sambil menahan Chather agar tidak melompat keluar.
Chather mengamuk, menggaruk dan menggigit tangan Nara. "Aduh!" teriak Nara, menarik tangannya dengan cepat.
Chather langsung mencakar wajah Nara. "Aaaaa!" jerit Nara, memegangi wajahnya yang berdarah.
"Kamu sialan!" teriak Nara, marah. Ia menendang ember berisi air dingin dan sabun itu, membuat Chather terhuyung ke belakang.
Chather menatap Nara dengan tatapan tajam, seolah-akan mengatakan, "Aku benci kamu!"
Nara mengusap darah di wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Aku benci kamu juga, Chather," bisiknya.
Ia meninggalkan Chather di kamar mandi dan berlari ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku benci kucing!" teriaknya, sambil meninju bantal.
Ia merasa kesal dan marah. Ia merasa terbebani dengan Chather. Ia ingin ibunya kembali, agar ia tidak harus menghadapi kucing sialan itu.
"Mama, aku rindu kamu," bisiknya, air matanya mengalir deras.
Ia tertidur dengan perasaan sedih dan marah. Chather, yang sendirian di kamar mandi, menatap pintu kamar Nara dengan tatapan kosong.
"Aku juga merindukan Mama," bisiknya, suaranya lirih.
****
Dinginnya malam Jakarta merayap masuk ke dalam apartemen sederhana Nara. Angin malam berdesir, menerbangkan tirai jendela tipis, dan membuat cahaya bulan mengintip masuk, menari-nari di lantai. Chather, yang masih basah kuyup karena mandi paksa tadi, meringkuk kedinginan di dekat jendela. Ia menatap Nara yang tertidur lelap di lantai, terlentang dengan wajah kusut. Nara masih kesal karena ulah Chather tadi, malas untuk bangun dan mencari selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshot ( Cerpen Enak)
FantasyIni adalah kumpulan cerpen pendek "Enak" yang Nara buat saat lagi males mikir ♡'・ᴗ・'♡ Kalau kalian suka cerita ini, jangan sungkan buat komen! Komen kalian bisa jadi motivasiku buat melanjutkan cerita ini jadi versi yang lebih...