Chapter 2

49 7 8
                                    

Moza turun ke lantai satu, membantu siap-siap sebelum kedai ‘Dapur Ngebul’ buka pukul delapan—dan nanti akan tutup delapan malam. Libur? Jarang libur. Papa hanya akan meliburkan kedai-nya kalau ada banjir. Serius, Moza tidak lebay. Memang itu kenyataannya. Papa tipes juga kedai dipaksa tetap buka. Alasannya bukan uang semata, tapi demi pelanggan yang tidak ingin dibuat kecewa. Papa juga beralasan kalau anak-anaknya sudah bisa diandalkan untuk mengurus kedai kalau dirinya sedang sakit.

Sepuluh tahun berdiri, Kedai Ngebul punya tempat istimewa di hati pelanggan, apalagi mereka yang pecinta masakan rumahan. Tidak ada menu khusus dan sering berubah sesuai jadwal setiap harinya. Dari yang semula hanya dikelola Papa dan dibantu anak-anak, sampai kemudian Om Jule datang, tinggal bersama mereka dan menjadi karyawan kepercayaan hingga sekarang. Lalu ada dua karyawan lainnya yang rumahnya tak jauh. Urusan memasak tetap dipegang Papa dan Om Jule. Moza jadi helper yang tidak punya tugas utama tapi merangkap ini-itu.

Papa sudah mengenakan celemek merah dan berkutat dengan bahan masakan dibantu Om Jule. Sarapan menjadi hal paling fleksibel di rumah ini. Apa saja bisa dimakan selain kenangan karena keluarga ini punya family issues yang lumayan pedih. Tidak ada ritual sarapan bersama. Toh semua penghuni rumah bangun di jam yang berbeda—Bang Novian sih yang beda sendiri. Dia baru bangun nanti pukul sepuluh. Pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas membuat jam tidurnya berantakan. Katanya ide datang kalau hening tengah malam. 

Bang Ridwan belum kembali dari rumah kontrakan depan setelah tadi menyusul ke sana. Jadi dia teman Bang Ridwan yang dimaksud Papa tadi di mobil.

“Bang, orang ganteng emang begitu ya?”

“Maksud lo?” Bang Kendra sudah beralih memegang sapu, sementara Moza mengisi ulang kotak tisu yang kosong di beberapa meja.

“Itu temennya Bang Ridwan, kayak keturunan Arab gitu.”

“Terus?”

“Pertanyaanku, apa orang ganteng temenan sama yang ganteng juga?”

Bang Kendra mendengkus. “Balik ke TK aja lo. Sempit banget pikiran lo.”

“Apa sih, tanya baik-baik juga.” Memang salah, harusnya dia tanya kenapa bikin indomie satu kurang tapi dua kebanyakan. Biar ngamuk sekalian. Dasar singa!

Lima menit kemudian Bang Ridwan pulang. Moza mencegat sebelum abangnya naik untuk mandi. Menghadangnya di anak tangga yang lebih tinggi. Lelaki yang lebih tua lima tahun darinya itu menaikkan sebelah alis.

“Aku tahu kamu mau tanya apa. Jawabannya enggak, Oja. Dia udah mau nikah. Hentikan kekaguman yang nggak perlu itu. Calon suami orang.”

Awan-awan cerah dan pelangi di atas kepala Moza langsung berganti mendung gelap disertai kelip petir. Jangankan naksir, harapan untuk menganggumi saja sudah kandas. Bang Kendra yang masih memegang sapu sontak mendekat, menyapu serakan hati adiknya sambil tertawa menyebalkan.

Moza menyingkir ke dinding dengan mimik sedih. Membiarkan abang sulungnya lewat.

“Udah mau nikah, Ja?” Papa menyembul dari pintu yang menghubungkan dengan dapur kotor di belakang. Ikut dengar rupanya. “Nggak heran, beda jauh sama si Jabrik. Nanti ajak temenmu itu makan malam di sini, Wan. Gratis.”

Bang Ridwan yang belum sepenuhnya tiba di lantai dua, mengangguki permintaan Papa.

“Lo mending buruan mandi ketimbang jadi arca di situ.” Bang Kendra yang mau menyapu anak tangga jadi terganggu dan dia sebal kalau ada orang malas.

***

Pukul sembilan, dia sengaja membangunkan Bang Nopi lebih awal. Papa yang memberi perintah karena ada pesanan nasi box, yang biasanya sudah menjadi tugas Bang Nopi untuk mengantar.

The Chronicles of Queen Mojarela [Tamat di Karyakarsa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang