2

16 4 3
                                    

Guys jadi aku lagi buat novel kolab 3 orang buat ikut lomba. Peraturan nya pas publish itu bertahap. Teman aku yg pertama up bab 1, aku bab 2 dan satu lagi temen aku dia bab 3.

Untuk selanjutnya bergantian. Sampe sini paham gak?

Yang intinya disini aku up bab 2. Alangkah lebih baik kalian baca terlebih dulu bab 1 di akun Putu_bamb0.

Nah setelah kalian baca bab 1 disana, baru melimpir lagi kesini untuk read bab 2.

Nah setelah kalian baca bab 1 disana, baru melimpir lagi kesini untuk read bab 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Keesokan harinya, ketika matahari mulai menyinari halaman belakang, Bagus memutuskan untuk membersihkan gudang tua yang sudah lama tidak disentuh. Tempat itu penuh dengan debu dan barang-barang usang yang sudah tidak jelas kegunaannya.

Rak-rak kayu yang hampir lapuk terlihat memuat banyak benda yang tertinggal dari masa lalu. Bagus tak begitu memedulikan semua itu, dia fokus membersihkan. Hingga tak lama kemudian matanya tertuju pada sesuatu yang mencolok, yaitu sehelai kain kuning yang tergulung di salah satu sudut rak.

Bagus berjalan mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil kain itu. Setelah membersihkan debu yang menutupi permukaannya, Bagus menyadari bahwa itu adalah sebuah selendang dan berwarna kuning cerah meskipun usianya tampak sudah tua.

Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang menariknya untuk mengetahui lebih banyak tentang kain itu. Kain ini terasa tidak asing, seolah-olah ada hubungan misterius antara selendang itu dan ingatan paman nya yang sering terganggu.

Tanpa ragu, Bagus segera membawa selendang itu ke ruang tamu, tempat Arya biasa duduk menatap jendela sambil menikmati pagi dengan secangkir kopi hangat.

Hari ini seperti biasa Arya terlihat tenggelam dalam lamunannya, tatapan kosongnya jauh menerobos dunia nyata.

"Paklek, ini apa?" tanya Bagus sambil menyerahkan selendang itu pada Arya.

Pada saat Arya melihat selendang tersebut, perubahan di wajahnya sangat nyata. Wajah yang semula tenang kini berubah gelisah. Matanya yang tadi kosong mendadak memancarkan kecemasan dan tangan nya gemetar saat mengambil kain itu dari Bagus. Dia memandang selendang itu sejenak, lalu mengusapnya dengan sentuhan yang begitu hati-hati, seolah-olah itu sangat berharga.

"Ini... ini milik Kemala," Arya berbisik pelan namun sarat dengan emosi yang tersimpan lama.

Bagus mengerutkan kening, kebingungan. "Kemala? Siapa Kemala, Paklek? Wanita yang sering muncul dalam mimpi Paklek?"

Arya terdiam sesaat, seolah mencoba merangkai kata-kata yang sudah lama terkubur dalam ingatan nya. Dia menutup matanya sejenak, sebelum menjawab dengan suara serak, “Kemala... dia bukan sekadar mimpi, Gus. Dia... adalah seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengan Paklek. Tapi sekarang Paklek sulit mengingatnya dengan jelas. Ingatan Paklek... hilang, kabur. Kadang-kadang Paklek ingat dengan jelas tapi di saat lain, semuanya buram. Seperti ada sesuatu yang menutupi ingatan itu."

Bagus tertegun mendengar penjelasan itu. Selama ini dia selalu menduga bahwa mimpi buruk Arya hanyalah trauma masa lalu. Tapi kini, tampaknya lebih dari sekadar mimpi buruk. Ada potongan ingatan yang hilang, terjebak dalam pikiran Arya, dan selendang kuning ini tampaknya menjadi kuncinya.

"Paklek, apa sebenarnya yang terjadi dengan Kemala?" Bagus bertanya hati-hati, berusaha agar tidak terlalu memaksakan pamannya mengingat hal yang mungkin terlalu menyakitkan.

Arya menggeleng pelan, “Paklek tidak tahu, Gus. Paklek ingat... kami dulu dekat. Paklek ingat dia mengenakan selendang ini, selalu membawa selendang ini ke mana pun dia pergi. Tapi ada sesuatu yang aneh... setiap kali Paklek mencoba mengingat lebih banyak, selalu ada perasaan bahwa ingatan itu tertahan. Seperti ada yang tidak ingin Paklek tahu.”

Bagus menatap pamannya, perasaan iba memenuhi hatinya. Arya yang biasanya tegar kini terlihat sangat rapuh, seolah-olah ingatan tentang Kemala telah mencabik-cabik dirinya dari dalam. Namun di balik rapuh itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan, seolah-olah masa lalu Arya memegang rahasia yang jauh lebih besar dari sekadar kisah cinta yang terlupakan.

"Paklek," Bagus berbicara dengan hati-hati, "Mungkin kita bisa cari tahu lebih lanjut tentang Kemala. Apa Paklek ingat di mana terakhir kali bertemu dengannya?"

Arya menatap selendang itu lagi, mengusap permukaan nya dengan perlahan, seakan berharap bahwa dengan menyentuhnya, ingatan-ingatan yang hilang akan kembali. "Laut... Paklek ingat lautan. Kemala suka laut. Kami sering menghabiskan waktu di pantai, berbicara tentang hidup, tentang cinta... tapi ada sesuatu yang salah. Ingatan Paklek tentang lautan itu selalu berhenti pada satu titik, titik di mana Kemala marah. Dia berteriak pada Paklek... meminta Paklek pergi."

"Kenapa dia marah?" Bagus bertanya, penasaran.

Arya menggeleng lagi, dengan ekspresi frustrasi di wajahnya. "Paklek tidak tahu. Setiap kali Paklek mencoba mengingat, selalu berhenti di sana. Dia teriak, memerintahkan Paklek untuk pergi, tapi setelah itu... kosong. Semua ingatan setelah itu hilang. Paklek hanya ingat bangun di tempat lain, jauh dari pantai dan Kemala tidak pernah muncul lagi."

Bagus merasa ada yang ganjil dengan cerita itu. Ingatan yang terputus, emosi yang terpendam dan sekarang selendang kuning ini yang tiba-tiba muncul—semua ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini, sesuatu yang menyimpan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Arya selama ini.

"Paklek, mungkin ini saatnya kita mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin selendang ini adalah petunjuk," ujar Bagus, mencoba menyemangati pamannya yang terlihat lelah dengan misteri hidupnya sendiri.

Arya terdiam, memandang selendang itu dalam-dalam. "Kemala... apakah dia masih hidup? Apakah dia masih marah? Atau mungkin... mungkin dia sudah pergi untuk selamanya?"

Bagus meletakkan tangannya di bahu Arya, memberikan dukungan. "Kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba mencari tahu, Paklek. Siapa tahu, dengan mengungkap masa lalu, Paklek bisa mendapatkan kembali kedamaian yang selama ini hilang."

Arya tersenyum kecil, meskipun senyum itu tampak lemah. “Mungkin kamu benar, Gus. Tapi Paklek takut... takut bahwa apa yang Paklek temukan akan lebih menyakitkan daripada apa yang selama ini Paklek rasakan.”

“Apapun yang kita temukan, kita hadapi sama-sama, Paklek. Bagaimanapun juga, ini bagian dari masa lalu Paklek, dan Paklek berhak mengetahui kebenarannya,” Bagus menatap paman yang sangat dihormatinya itu dengan tekad yang bulat.

Arya hanya mengangguk pelan. Meski hatinya dipenuhi keraguan, ada sesuatu dalam diri Bagus yang membuatnya merasa bahwa mungkin, inilah saat yang tepat untuk menghadapi masa lalu yang selama ini menghantui. Selendang kuning itu, benda yang dulu sederhana, kini menjadi simbol dari semua pertanyaan tak terjawab dalam hidupnya.

Dan mungkin, hanya dengan mencari jawaban itulah Arya bisa menemukan kembali kedamaian dalam hidupnya yang sudah lama hilang.

TENGGELAMNYA BULAN DI TANAH RENCONG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang