Malam itu, setelah mendengar ucapan Izzati, tubuh Arya seolah runtuh. Tubuhnya terasa melemah dan kepalanya mulai berdenyut keras. Setiap kata yang diucapkan Izzati seperti palu yang menghantam pikirannya, membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Dunia sekelilingnya tampak semakin kabur.
“Paklek?” panggil Bagus dengan cemas, menyadari perubahan mendadak pada pamannya. Arya terkulai, napasnya berat dan tersengal-sengal. Tubuh tuanya tidak lagi mampu menanggung beban emosional yang tiba-tiba menyerangnya. Bagus segera berdiri, panik, dan memanggil bantuan. Namun di tengah fisiknya yang rapuh, Arya tetap berusaha keras memaksakan tubuhnya untuk bertahan.
Setelah kembali berbaring di kamar hotel, pikirannya tak berhenti berputar. Kata-kata Izzati tentang Kemala yang telah "menyatu dengan tanah" terus menghantui benaknya, seolah meresap lebih dalam ke dalam jiwanya. Arya tahu, di lubuk hatinya, mungkin Kemala memang sudah tiada. Namun, instingnya mengatakan hal lain. Di balik semua ini, Arya merasakan ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kematian Kemala. Ada misteri yang menyelubungi lautan, selendang kuning, dan ingatan-ingatan yang terpecah.
Bagus duduk di sudut ruangan, diam dan bingung harus berkata apa. Ia melihat pamannya yang keras kepala, penuh obsesi, dengan pencarian ini. Peringatan atau nasihat tidak akan mengubah apa pun. Arya sudah terlanjur terikat pada bayangan Kemala, yang tidak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya.
“Paklek, mungkin Paklek harus istirahat,” kata Bagus pelan, hampir berbisik. Namun, Arya tidak bergeming. Pandangannya tetap tertuju ke jendela kamar yang menghadap ke laut. Seolah ada sesuatu di balik ombak yang terus memanggilnya, menariknya kembali ke masa lalu.
“Kamu tidak akan mengerti, Gus,” akhirnya Arya berbicara dengan suara serak dan lemah. “Ini bukan hanya tentang Kemala. Ini tentang bagian dari hidup Paklek yang hilang bersama dia. Ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang perlu Paklek temukan sebelum bisa benar-benar beristirahat.”
Bagus mendengarkan dengan serius, meskipun hatinya tetap berat. Dia mulai merasakan betapa dalamnya keputusasaan yang dirasakan Arya. Mungkin benar bahwa ini bukan sekadar pencarian cinta yang hilang. Mungkin Arya mencari kedamaian dari rasa bersalah yang telah lama membebani hidupnya.
“Paklek,” kata Bagus setelah hening sejenak, “Kalau Paklek mau terus mencari, aku akan ada di sini. Kita akan mencari bersama, dan apapun yang kita temukan, aku akan membantu Paklek menghadapinya.”
Arya menatap keponakannya, dan meski wajahnya tampak lelah, ada seberkas rasa syukur di matanya. “Terima kasih, Gus,” ucapnya lirih. “Paklek sudah terlalu tua untuk melakukannya sendiri. Mungkin kamu adalah kunci yang Paklek butuhkan untuk menemukan jawabannya.”
Keesokan harinya, pantai Ulee Lheue terlihat lebih tenang. Namun, ketegangan yang melingkupi Arya dan Bagus tetap terasa. Mereka kembali ke pantai itu, tempat yang kini memiliki arti lebih mendalam. Ombak bergulung-gulung dengan tenang, seperti menyimpan rahasia yang siap diungkapkan kepada mereka yang mencari.
Arya berdiri di tepi laut, memegang erat selendang kuning yang dulu menjadi milik Kemala. Selendang itu, seolah memuat kenangan yang ingin Arya lupakan, tetapi tidak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.
“Kemala... kamu di mana?” bisik Arya, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh ombak.
Bagus mendekat, berdiri di samping pamannya. “Paklek, apa yang sebenarnya terjadi antara Paklek dan Kemala? Aku merasa ini lebih dari sekadar kisah cinta yang tak tersampaikan.”
Arya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Kami tidak hanya saling mencintai, Gus. Kami berbagi perjuangan. Hidup dan mati. Tapi, di akhir, Paklek memilih dirinya sendiri. Itu kesalahan terbesar Paklek.”
Arya menatap selendang kuning dengan penuh penyesalan. "Kemala mempercayakan sesuatu kepada Paklek, sesuatu yang Paklek gagal jaga. Dan sekarang, Paklek harus membayar harganya."
Bagus diam sejenak, sebelum bertanya lagi, “Bagaimana dia bisa pergi, Paklek?”
Arya menghela napas panjang. “Dia menghilang saat kami dalam misi. Paklek tidak bisa menyelamatkannya. Mungkin karena Paklek terlalu takut. Ketika Paklek sadar, Kemala sudah tenggelam dalam kegelapan, entah di laut atau dalam hidup yang baru.”
“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Paklek? Bagaimana kita bisa menemukan jawaban dari semua ini?” Bagus menatap pamannya dengan serius.
Arya tersenyum tipis, meskipun senyum itu sarat dengan kesedihan. "Jawaban itu ada di laut, Gus. Di tempat yang sama di mana semuanya berakhir. Kita harus kembali ke sana, ke titik di mana semuanya dimulai."
Dengan tekad yang semakin kuat, Arya dan Bagus mempersiapkan diri untuk menghadapi babak terakhir dari pencarian ini. Mereka tahu, apa pun yang mereka temukan di laut, mereka harus siap menghadapi kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Ketika sore menjelang, Bagus kembali dengan informasi baru. “Paklek, aku menemukan nama seseorang. Seorang pria bernama Arfan. Dia dulu sering terlihat bersama Kemala dan Izzati. Dia mantan rekan mereka dalam misi-misi di Aceh. Mungkin dia bisa memberi kita petunjuk lebih lanjut.”
Arya mengangguk pelan. Nama itu terasa asing, tetapi itu adalah petunjuk yang bisa mereka ikuti. “Baik, kita temui dia.”
Mereka segera menuju desa di pinggiran Banda Aceh, tempat Arfan dikabarkan tinggal. Sepanjang perjalanan, Arya tak berhenti memikirkan tentang petunjuk yang semakin dekat. Sesampainya di sana, mereka berhenti di depan rumah sederhana di tepi sawah. Bagus mengetuk pintu dan tak lama kemudian seorang pria paruh baya membukanya.
“Siapa kalian?” tanya pria itu dengan nada curiga.
Arya maju sedikit, meski langkahnya goyah. “Arfan, kan? Aku Arya Wijaya. Dulu aku bekerja dengan Kemala dan Izzati.”
Mata pria itu melebar mendengar nama Arya, seolah kenangan lama yang terkubur kembali menyeruak. “Arya... sudah lama sekali. Masuklah. Kita perlu bicara.”
Di dalam rumah sederhana itu, setelah sekian lama, Arya akhirnya duduk berhadapan dengan seseorang yang mungkin memiliki jawaban dari misteri hidupnya. Arfan tampak gelisah, tapi Arya tahu dia telah mendekati kebenaran.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada Kemala?” Arya bertanya dengan nada penuh harap.
Arfan menghela napas, tatapannya penuh rasa bersalah. "Kemala... dia memilih jalan yang berbeda, Arya. Setelah misi terakhir itu, dia tidak bisa kembali. Terlalu banyak yang telah dia korbankan."
Arya merasa hatinya semakin tenggelam. “Apa maksudmu? Apakah dia masih hidup?”
Arfan menatap Arya dalam-dalam. “Kemala menghilang... tapi dia tidak pernah mati. Jika dia hidup, dia bukan lagi Kemala yang dulu kau kenal.”
Arya menatap kosong ke luar jendela, matanya menatap lautan yang semakin gelap. "Kemala, di mana kamu sekarang?"
Arya menatap Arfan, tersadar bahwa pencariannya belum selesai. Laut, tempat misteri bermula, menjadi tujuan berikutnya. Dengan tekad bulat, Arya bersiap menghadapi apapun yang menantinya, meski jawaban yang ia cari masih samar.
TBC
Buat bab selanjutnya silahkan di baca di akun Yunawriters.