Arya terbaring di kamar yang dipinjamkan oleh Pak Khalil, tubuhnya terasa semakin lemas setelah terjangkit demam dan panik yang mendadak menyerangnya. Bagus memastikan pamannya nyaman dan dalam kondisi stabil setelah menerima perawatan dari Bu Bidan.
Malam itu, Arya akhirnya bisa beristirahat, meski di tengah tidurnya, ia masih terus mengigau nama yang seolah tak pernah hilang dari pikirannya—Kemala. Dalam tidurnya, Arya terjebak dalam kenangan masa lalu. Ingatan itu kembali ketika hujan deras turun dari langit, membawa dirinya kembali ke pertemuan pertamanya dengan Kemala.
Hujan deras sore itu jatuh dengan ritme yang menenangkan, menenggelamkan suara-suara lain di kampung kecil yang tampak sepi. Jalan setapak yang biasa dilalui warga kini basah dan berlumpur, menciptakan suasana yang semakin sunyi.
Arya menepi ke sebuah toko kecil yang ada di pinggir jalan—toko khas di kampung-kampung jaman dulu. Beratapkan seng yang tampak usang dan berdinding kayu yang mulai kusam, toko itu menjadi satu-satunya tempat berteduh dari derasnya hujan.
Rupanya disana ia melihat seorang wanita muda, sendirian sudah lebih dulu berdiri di sana. Wanita itu tampak tenang, meski matanya menyapu hujan yang terus turun. Dia mengenakan selendang kuning yang melingkar di kepala, melindungi sebagian rambut hitamnya yang terurai hingga punggung.
Senyum manis menghiasi wajahnya, seakan ia tak terganggu oleh cuaca. Wajahnya begitu cerah di tengah cuaca yang kelabu, seakan kehadirannya membawa kehangatan tersendiri di tengah hujan.
Arya merasa canggung sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk memecah keheningan yang menyelimuti mereka berdua.
“Maaf, hujannya deras sekali ya,” ucap Arya mencoba memulai percakapan dengan nada ramah.
Wanita itu menoleh perlahan, tersenyum tipis sebelum menjawab. "Iya, sepertinya tidak akan berhenti dengan cepat. Tapi kadang hujan seperti ini memang memberikan kesempatan untuk merenung."
Arya mengangguk pelan, mengamati wajahnya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini—auranya. Bukan hanya karena senyumnya yang manis, tapi juga cara dia bicara yang tenang dan penuh makna.
“Nama saya Arya, kalau boleh tahu siapa nama anda?” Arya bertanya, merasa terdorong oleh rasa ingin tahu.
Wanita itu tersenyum lebih lebar, seakan pertanyaan sederhana itu membuka pintu komunikasi di antara mereka. “Nama saya Kemala.”
“Kemala… Nama yang indah,” ujar Arya spontan, tak mampu menyembunyikan kekagumannya. “Apa artinya?”
Kemala menundukkan sedikit wajahnya, matanya menatap hujan yang menderas di depan mereka. “Kemala, artinya perhiasan atau permata. Nama pemberian dari ibu,” ucapnya pelan, seolah ada memori yang ikut hadir saat ia menyebut nama itu.
Arya tertegun. Nama itu terdengar sangat pas untuk wanita di depannya—mewakili keindahan, kemurnian, dan keanggunan. Ia tersenyum kecil, sedikit terpesona oleh kesederhanaan cara bicara Kemala yang penuh arti. Ia merasa pertemuan singkat ini seperti takdir, seolah hujan ini yang mengantarkan mereka untuk saling mengenal.
Kemala mengangkat pandangannya dan menatap Arya. “Lalu Arya, namamu juga memiliki arti yang kuat. Seperti seorang pejuang.”
“Iya,” jawab Arya, sedikit tersipu. “Orang tua saya menginginkan saya menjadi seseorang yang kuat dan tak mudah menyerah, seperti namanya.”
Kemala tertawa kecil, suara tawanya lembut, hampir tak terdengar di tengah suara hujan yang membasahi tanah. “Semoga kau memang menjadi seperti itu, Arya. Seorang yang kuat, namun tetap memiliki hati.”
Arya tak bisa menahan senyum. Percakapan mereka yang dimulai dari hal sederhana, kini terasa dalam dan bermakna. Hujan yang tadinya membawa kesan dingin, kini seolah menjadi latar yang sempurna bagi pertemuan mereka. Sesuatu dalam hati Arya berbisik, bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Kemala, senyumnya dan cara bicaranya yang tenang namun kuat. Mereka berdua tetap berdiri di sana, di bawah atap kecil toko, seakan waktu berhenti sementara hujan terus mengguyur.