Pagi itu sebelum berangkat kerja, aku menelpon Arzi.
"Assalamualaikum Pak, hari ini Inka harus selesein beberapa hal penting. Jadi nanti gak bisa sarapan dan makan siang bareng ya," kataku sambil menekan 'speaker' dan meletakkan gagang telepon. Aku tetap bergerak merapikan penampilanku.
"Waalaikum salam. Malam gimana?" suara Arzi bertanya. Seperti ia juga melakukan hal yang sama karena suaranya terdengar jauh.
Aku mendekati telepon. "Inka usahain yaaa," seruku manja.
Tawa senang Arzi terdengar. "Oke kalo begitu. Inka... Tunggu!" Tanganku urung menekan tombol 'end' di telepon.
"Ya?" tanyaku sambil mengangkat gagang telepon.
"Kita mau menikah. Kita perlu restu semua orang. Jadi apapun masalah yang harus kamu selesaikan. Tolong jangan pake emosi ya, In! Mengerti?"
"Mengerti, Calon Suami!" Kembali aku menjawab penuh semangat. Aku jadi banyak belajar sabar dengan Arzi.
Setelah bertukar salam, telepon pun berakhir. Dengan santai aku mengambil tas kain yang berisi semua pemberian dan dokumen pribadi milik Andra yang semalam kusiapkan, juga kunci kamar yang pernah ia berikan padaku.
Pagi-pagi sekali, aku juga sudah menelpon Mess-nya dan bertanya pada temannya, kalau sudah beberapa hari ini Andra bertugas di Bontang. Jadi aku bisa masuk ke kamarnya dengan bebas untuk mengembalikan semua tanpa harus bertemu.
Tepat pukul delapan, aku sudah mengarahkan kemudi menuju rumah tempat Andra dan teman-teman sekantornya tinggal. Tak ada orang. Tentu saja, ini jam kerja. Mereka pasti sudah berangkat tadi pagi.
Aku sengaja datang satu jam setelah mobil jemputan mereka datang mengantar mereka yang bekerja di malam hari dan pergi menjemput mereka yang bekerja di *shift *pagi.
Biasanya yang bekerja malam, akan tidur sampai siang nanti. Dengan begitu, aku tak perlu bertemu mereka dan menjawab pertanyaan basa-basi.
Kupandangi sekali lagi tas kain yang tergeletak di kursi penumpang di sebelahku, dan meraihnya. Aku hendak turun ketika teringat sesuatu. Undangan! Benar undangan pernikahan yang mulai hari ini akan kubagikan ke teman-teman dekatku.
Tidak banyak yang kuundang. Tapi teman-teman Andra dulu cukup akrab denganku. Dengan memberikannya, aku tak perlu menjelaskan banyak alasan mengapa aku mengembalikan semua pemberiannya. Cukup dengan undangan saja.
Pintu mobil kututup perlahan, agar tak membangunkan mereka yang sedang tidur. Pintu Mess selalu terbuka, jadi aku langsung masuk.
Kamar Andra tampak tertutup rapat dan aku mengetuk dua kali sekadar memeriksa ada orang atau tidak. Tak ada jawaban, jadi aku membukanya dengan kunci.
Kamarnya masih seperti dulu. Tampak bersih dan rapi. Aku menghela napas. Bersyukur ia tak ada. Kuletakkan tas kain itu ke atas meja kerjanya, bersama satu lembar undangan di atasnya.
Aku mengambil sticky note kuning yang tergeletak di atas meja dan menuliskan 'Terima kasih untuk semuanya'. Lalu dengan tangan sedikit gemetar, aku menempelkan kertas itu di atas undangan.
Setelah selesai, aku keluar dari kamar Andra, menguncinya kembali dan memasukkan anak kunci melalui bagian bawah pintu. Selesai. Benar-benar selesai.
Aku bergerak menuju ke bagian belakang Mess, menemui petugas pembersih Mess yang langsung melepas gagang sapu dan menyapaku akrab.
"Eeeeh, Mbak Inka! Udah lama gak keliatan? Ada apa, Mbak? Mas Andra ne lagi ke Bontang."
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Saya datang ke sini bukan mau ketemu Kak Andra, Pak. Saya mau minta tolong."
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, LOVE (2024)
RomanceKupikir telah memiliki segalanya. Karir yang cemerlang dengan boss yang baik, kekasih yang mencintaiku setelah berbulan-bulan hanya bisa menyembunyikan perasaanku padanya, sahabat baik yang menyayangiku bagai saudari sendiri dan rekan-rekan kerja ya...