"Fask," panggil Mizu di tengah jeda istirahat. Remaja itu duduk bersandar pada sebuah batu besar, mengelap peluh dengan handuk. Karena sedang sesi latihan, dia hanya memakai kaus dalam abu-abu gelap sementara kaus cokelat bertudungnya dilipat rapi di atas batu tersebut.
Manset lengan yang biasa dikenakan Mizu, bahkan saat dia mencuci, kini dilepas. Tampaklah tato bermotif api yang berpendar jingga kemerahan; tato yang sepertinya enggan dia lihat.
"Fask," panggil Mizu sekali lagi. Pipinya mulai berkedut kesal.
Seekor nyth serupa tupai meregangkan tubuhnya di atas dahan pohon. Ia kemudian melompat turun dan berlari memanjat batu yang disandari Mizu. "Tumben. Biasanya kau nggak mau diganggu kalau sedang istirahat."
Tatapan Mizu menerawang ke arah langit biru yang begitu cerah. Tanpa mengindahkan celetukan Fask, dia bertanya, "Blasteran manusia dan tycal itu memang dibolehkan masuk?"
"Hmn? Tergantung." Fask, dalam wujud nyth kembali mengambil posisi nyaman untuk tidur siang. "Mereka langka sekali, dan baru gadis itu yang mendatangi Pegunungan Kabut."
Sebagai respons, Mizu hanya bergumam singkat, lalu hening melanda. Desir angin dan suara para nyth yang sibuk beraktivitas tak mampu mengusirnya. Fask hampir tertidur saat anak muridnya kembali bersuara.
"Anak itu aneh, Fask," katanya dengan dahi sedikit mengerut. Remaja itu tengah mengingat-ingat kejadian malam kemarin. "Dia nggak bisa makan. Kalau dipaksa, dia bakal muntah. Dia juga nggak bernapas dan badannya dingin kayak...."
"Kayak tubuh mayat?" tanya Fask dengan entengnya, masih memejamkan mata dalam posisi bergelung.
Mizu mengangguk, tetapi Fask tidak melihatnya. Karena hening itu cukup menyiksa, Fask pun mengambil wujud humanyth, lantas menempatkan diri di samping Mizu. Gerakan itu tidak menuai respons yang seperti biasa: sikutan dan keluhan agar Fask menjauh.
"Kau khawatir pada anak itu?"
Mizu terperanjat. Dia tidak menjawab apa-apa selama satu menit kemudian.
"Yah!" Fask melipat tangan di belakang kepala, kembali memejamkan mata. "Mungkin saja dia itu kasus spesial. Aku ini bukan makhluk yang tahu segalanya. Dan, yang penting dia masih hidup, 'kan?"
Mizu berdecak. Itulah tanggapan yang Fask nantikan.
"Gimana kalau sesuatu terjadi padanya? Sesuatu yang membahayakan nyawa." Kepalanya menunduk agar ekspresi menyedihkan itu dapat disembunyikan. Pendar tato pada lengannya jadi makin kentara saat Mizu meremas rumput-rumput pendek yang mereka duduki.
Tanpa sadar Fask telah mengukir senyum tipis dengan alis sedikit tertekuk. "Nanti coba ajak dia bertemu Qert lagi," ujarnya membuat Mizu menoleh setelah menetralkan ekspresi.
Senyum Fask seketika berubah menjadi senyum andalan yang penuh jenaka. "Bilang saja kalau Fask si hebat yang mengirim kalian ke sana."
Ekspresi yang Mizu pajang jelas menunjukkan kalimat itu terlampau menggelikan. Masih dengan alis tertekuk, remaja itu pun bertanya, "Memangnya apa yang bisa Qert lakukan? Kau saja nggak tahu apa-apa soal kasus anak itu."
Fask menahan tawa lantas balik bertanya, "Kapan aku bilang Qert tahu sesuatu?" Dengan gesit entitas itu menghindar sebelum Mizu sempat meninju bahunya.
"Lalu buat apa aku mengajaknya ke sana lagi?!" seru Mizu, makin geram karena Fask berhasil menghindar.
Sekitar delapan langkah dari si humanyth, Fask duduk bersila. Dia mengendikkan bahu, kemudian mengarahkan telunjuknya pada sebuah dahan pohon kokoh yang tertutup rimbunnya daun. "Daripada dia menguntitmu begini, lebih baik dia berlatih dengan Qert seperti kau berlatih denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Puppeteer's Pawns: A Game of Fate
AdventureBukan pertama kali dunia berada di ambang kehancuran. Tiap 100 tahun sekali, seratus jiwa dikumpulkan sebagai tumbal untuk memperbarui segel gerbang Dunia Bawah. Namun, kali ini, para utusan ditakdirkan untuk gagal. Mizuric, bersama tiga kawannya da...