Bab 25

815 40 1
                                    

Bahkan setelah berjam-jam berlalu, perasaan hangat dan intim masih melekat di atmosfer.

Aku ingin mempertahankan kebahagiaan itu selama yang aku bisa, tapi sampai kapan kebahagiaan itu akan bertahan? Saya tidak mendapat tanggapan.

Mendengar Elis berbicara di telepon dengan mantan kekasihnya terasa seperti batu besar yang menghancurkan hatiku.

Meskipun aku bukan tipe orang yang cemburu atau tidak percaya, saat ini aku merasakan sikap posesif yang

hampir gila terhadapnya. Saya ingin mengulurkan tangan, merebut telepon dari tangannya dan melemparkannya ke lantai.

Apakah cinta membuatku kehilangan akal?

Apakah cinta membuatku egois dan tidak pengertian?

Aku duduk, memandangi telapak tanganku dan bernapas perlahan untuk menenangkan amarahku. Mau tak mau aku bertanya-tanya apakah, dalam hati Elis, dia masih nomor satu. Apakah jantungnya yang memiliki empat bilik memiliki sudut kecil untuk saya merangkak masuk, atau apakah dia hanya orang asing di depan pintu yang tidak pernah masuk?

Aku hanya bisa menghela nafas, menilai nilai diriku dan apakah aku berhak menunjukkan rasa cemburuku.

Aku duduk dalam kegelapan beberapa saat sampai pintu terbuka dan dia masuk. Elis.

Dia tampak sedikit terkejut melihatku bangun. Aku menatap matanya yang berwarna terang menembus kegelapan, sangat ingin mengetahui apa yang tersembunyi di hati pria ini. Keingintahuan memakanku hidup- hidup.

"Apakah aku membangunkanmu?"

Elis, hanya mengenakan celana boxer, rambutnya acak-acakan namun tetap tampan tak tertahankan, mengambil bantal yang jatuh ke lantai. Perutnya yang six pack sedikit tertekuk saat dia membungkuk dan memberiku senyuman kecil saat dia berjalan kembali ke tempat tidur.

"Dari mana saja kamu?" tanyaku, padahal aku sudah tahu jawaban sebenarnya.

"Aku hanya haus," jawab Elis menghindari kontak mata, sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.

Dia berbohong... Sebuah kebohongan sederhana, namun cukup membuat retakan besar di hati kecilku. Bersama pria yang dipenuhi kenangan masa lalu ternyata lebih menyakitkan dari yang dia bayangkan. Tak peduli seberapa kuat dan stabil perasaanku, menghadapi hal seperti ini membuat hatiku rapuh.

Seumur hidupku, aku tidak pernah menangis karena cinta.

Jika memang ada yang pertama kalinya, bisa jadi itu terjadi sekarang. Meski air mata tidak mengalir dari mataku, aku yakin bisa mengatakan bahwa hatiku menangis.

Saya bangun di pagi hari dengan perasaan seperti sedang berjalan menuju bencana emosional. Suasana hatiku mendung dan bahkan bunyi alarm pun terdengar cukup menjengkelkan hingga membuatku ingin membuang ponselku. Butuh beberapa saat bagi saya untuk menenangkan diri dan mematikan alarm.

Beralih ke sisiku, aku hanya menemukan kekosongan. Tak ada pelukan hangat yang bisa menemaniku sepanjang malam, ataupun sapaan pagi. Ini hanya membuat hatiku semakin tenggelam.

Tadi malam, aku memunggungi Elis, tenggelam dalam pikiranku yang terpencar-pencar, tapi dia mengulurkan tangan dan memelukku dari belakang, kulit ke kulit, dan napasnya menghangatkan bagian belakang leherku. Namun kedekatan itu menghalangiku untuk tertidur, pikiranku berputar-putar dalam pikiran-pikiran gelap hingga akhirnya aku tertidur karena kelelahan menjelang fajar.

Aku menghilangkan rasa linglung dan duduk di tepi tempat tidur, merasa benar-benar putus asa. Saya memeriksa notifikasi di beberapa aplikasi untuk sebuah momen.

Ketika saya pergi ke kamar mandi, kamar itu kosong, jadi saya merapikan diri. Setelah sekitar lima belas menit, saya pergi.

Kini Elis sudah berpakaian lengkap, dengan rambut tersisir rapi dan hanya dasinya yang dibiarkan terlepas, tergeletak di kursi terdekat. Langkahku tersendat saat dia menoleh ke arahku sambil tersenyum dan menunjukkan secangkir kopi.

[END] Bad Guy (My Boss)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang