Kata mereka menjadi orang baik adalah salah satu kunci kehidupan, mereka percaya akan selalu dipertemukan pada jalan kemudahan.
Omong kosong sialan ini terus berpacu sehari-hari di pikiranku. Melawan keinginan untuk memberontak jika itu tidak sepenuhnya benar. Menjadi baik adalah sifat manusia, tapi menjadi terlalu baik hanya menyiksa diri.
Aku bertanya-tanya pada diriku. Ini sudah berlangsung lama sejak aku berumur 7 tahun. Saat itu muncul rasa keinginan besar yang menyenangkan, kekesalan menjadi dorongan aku melakukannya.
Seorang anak laki-laki bertubuh kurus memojokkanku di dalam gudang, dia meludahiku bersama seklompok temannya.
"Pecundang sepertimu tak pantas hidup!" Cacinya sembari menendang tulang selangkaku. Ringisan keluar dari bibirku.
Sepertinya hidupku tidak pernah tenang adanya sekelompok bajingan ini.
"Hahaha, diberi asupan asi seperti apa kamu Rey dari Ibumu sampai terlahir menjadi pengecut? Lihat jarimu, kelainan!" Mereka tertawa keras mengolok-olokku.
Sialan, beraninya mereka membawa ibuku di sini. Ibu tidak salah, ini hanya karena Tuhan memberiku jari 6. Berengsek, takdir memperlakukanku buruk untuk kali ini.
"Lihat jari kami! Beda darimu."
Kesabaranku habis. Mereka penipu handal, di balik kelakuan baiknya di awal hanya formalitas belaka. Merusak kepercayaanku adalah melanggar apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Langkah kakiku mundur ke belakang menimbulkan sedikit suara. Kurasakan kakiku menginjak sesuatu, tatapanku beralih ke bawah. Di sana tergeletak gergaji ukuran sedang.
Suatu rencana dibulatkan.
Aku melihat mereka yang masih menatapku penuh kesenangan.
Dan dari insiden itulah aku melakukan hal menyenangkan itu dengan gergaji yang kuambil diam-diam dan melakukannya pada mereka. Membunuh.
Dari menghadapi berbagai sifat munafik manusia membuatku tumbuh menjadi pembunuh... ku rasa? Tidak pernah sekalipun ada rasa penyesalan saat aku melakukannya.
Sudah bertahun lamanya hasrat keobsesian ini tak pernah habis. Bahkan pada hewan pun aku lakukan.
Apa yang sebenarnya menggangguku?
Ayahku bahkan mendukung hobbyku. karena dari dia lah aku terlahir seperti ini. Mungkinkah ini keturunan?
Dan bulan berganti, sekarang bulan maret. Musim panas tiba. Aku memutuskan pergi berlibur. Beberapa riset terkait negara sudah kupikirkan matang-matang dari minggu lalu dan hasil akhir tertuju pada Negara Indonesia.
Tepat di Asia Tenggara.
"Ibu tidak setuju, ini mendadak sekali. Bella pasti sedih jika dia tahu kamu pergi jauh," kata ibuku saat makan siang berlangsung. Kami biasa melakukan makan bersama setiap hari. Rutinitas keluarga.
Tanganku mengepal saat mendengar ocehan Ibu.
Bella, Bella, Bella, sial nama itu sangat memuakkan.
"Biarkan dia berkelana, dia sudah dewasa sayang. Kamu terus mengekangnya," sahut Ayahku. tentu saja dia pasti berpihak padaku.
"Insting seorang ibu tidak pernah salah, Nak. Ibu hanya takut, dan Bella juga." Dengan khas raut sedihnya. Hatiku terhanyut kala melihat raut wajah itu. Aku lemah, namun tetap saja aku punya hakku sendiri.
"Tenang saja, bu. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan khawatir," ucapku berusaha meyakinkannya.
"Bella..."
sebelum ibu melanjutkan ucapannya, aku segera menyela,
"Bu, aku tidak tahu siapa gadis itu. Tolong berhenti menyebutkan namanya," kesalku.
Siapa Bella? berkali-kali ibu tak hentinya membahas gadis itu, ibu terobsesi ingin aku bertunangan dengan gadis itu. Faktanya, tidak pernah aku melihat wujud Bella.
Kulihat Ayah. Dia melirikku sambil menaikkan kedua alis. Aku tahu tidak seharusnya aku meninggikan suaraku pada Ibu.
"Maaf, Bu. keputusan ini sudah final, keberangkatan sore ini."
Raut wajahnya semakin sedih, sedetik kemudian ibu tersenyum. Dia menggenggam jemariku, lalu berkata,
"Baiklah, sayang. maaf, ibu tak bermaksud mengekangmu. Lakukan apa yang kamu mau, nikmati masa mudamu," ucap ibuku. Kutatap balik wajahnya, senyuman tipis tersungging di mulutku.
Ibu benar. Nikmati masa mudaku.
Jam demi jam terlewatkan. Setelah aku berkemas dan siap aku berpamitan pada orang tuaku.
"Hati-hati di sana, sayang. jangan lupa berkabar saat tiba." Ibuku mencium keningku dan memelukku. Dia adalah segalanya.
"Tidak perlu khawatir, Sayang. Dia lelaki, lelaki pemberani harus bisa menjaga dirinya sendiri seperti aku Ayahnya," kata Ayahku. Dia menunjuk dirinya sendiri, menatap menggoda pada Ibu.
"Sadarlah, Hans! Perlu aku bawa cermin? Jika saat itu aku tidak menolongmu, kamu pasti sudah mati," jawab Ibu. Dia melototkan matanya. Ayah hanya tersenyum mendengarnya.
Aku bingung.
"Dengar, Rey. Ibumu memanggil namaku, artinya dia marah." Tawa Ayah menggelegar.
Ibu menyenggol Ayah sambil berkacak pinggang, "diam!"
"Ya, simpan saja ucapan Ibumu baik-baik. Hubungi kami jika kamu mati." Ayah masih lanjut dengan sarkasmenya. Ibu semakin marah.
"Biarlah dia, Rey. Tetap hati-hati, aku percaya kamu pasti bisa menjaga dirimu tetap aman." Kedua tangan ibu meremas bahuku erat. Aku mengganggukkan kepala.
"Beri tahu aku jika ada masalah. Apapun." Giliran Ayahku membisikkanku, dia memelukku sambil melakukan itu tanpa memberi izin ibu untuk mendengar.
Kubalas pelukan mereka dengan perasaan canggung.
Ibu memberiku ciuman terbang dari jauh.
Setelahnya, aku pergi keluar rumah dan melanjutkan perjalanan menuju bandara untuk mengunjungi Indonesia.
***
Sial. terik mentari menyengat kulitku seakan menyambut kedatanganku di Negara beragam ini.
Aku sudah tiba di bandara Internasional Soekarno Hatta, lokasinya tidak jauh dari Jakarta yg aku ketahui. Memang niatku ingin mengeksplor Ibu Kota Indonesia ini.
Banyak orang berlalu lalang. Gedung ini di isi oleh manusia-manusia munafik.
Yang kulakukan sekarang adalah memesan transportasi online. Saat mobil sampai aku langsung masuk ke dalam. Supir mobil menyapa ramah, aku hanya tersenyum datar menanggapinya.
Itu terasa aneh bagiku menyapa orang asing yang pertama kali dijumpai.
Tentu saja dia tahu lokasi dimana aku harus datangi.
Di sinilah aku berada, di apartemen. Aku menyewa yang paling mahal untuk kenyamananku sendiri.
Kuhampiri jendela tertutup tirai, membuka tirai itu pemandangan kota memanjakan mata. Banyak gedung menjulang tinggi.
Cukup mengesankan.