Janlup untuk selalu vote dan komen yang banyak, soalnya aku suka baca komen dari kalian😊
Wajib follow!!! Kalau nggak pantatnya korengan!!
Happy Reading ✨
"Heh! Tuuyuull!! Balik lo sini!!"
Gue belingsatan meloncat-loncat berusaha ambil iblis kecil itu yang tiba-tiba aja ada di atas kulkas.
"Yiyii! Kyahahaha!" Dia malah ketawa girang sambil da-da ke gue sekarang.
Asem, gimana caranya dia bisa ada di atas sana? Jangan-jangan Megi yang ngajarin?!
"Turun, Ne! Nanti jatoh jadi tuyul beneran lo!" Sialnya dia ada di sisi atas pojok kulkas itu, gue agak susah kalau gak naik kursi ambilnya.
Baru aja ditinggal nganu bentar sama Asa, dia langsung berubah jadi kera sakti. Gue buru-buru ambil kursi yang ada di meja makan. Tapi, tak lama Asa mulai turun dari lantai dua, hanya bermodalkan handuk yang menutupi bawah perutnya.
"Ada apa?" Dia agak panik dan berlari ke sini. Kayaknya suara gue terlalu nyaring sampai dia ngacir keluar dari kamar mandi.
"A-ambilin, Nene!" Gue langsung tunjuk si tuyul itu yang kini joget-joget di atas kulkas.
Gak banyak basa-basi, Asa sigap mengangkat kedua tangannya dan ambil tubuh bayi itu dengan mudahnya tanpa bantuan kursi.
"Waaa!!" Si Nene berontak di gendongan Asa, bahkan sampai jambak rambut basahnya itu.
"Heh! Jangan kasar sama suami gue!" Gue langsung rebut si Nene dan cubit main-main pempesnya.
Butuh perjuangan besar untuk menenangkan bayi iblis ini. Gue sama Asa bener-bener kewalahan tanganinnya. Reog aja bisa insekyur liat kelakuan ni bocah.
Di malam harinya kami dibuat heboh perkara dia gak mau makan, minta nenen terus di gue. Bahkan dia buka celananya terus pipis di bajunya Asa. Asli, Mbak Ayuk pake metode apa ngajarin si Nene ini?? Didikan VOC? Atau Majapahit??
Si Megi aja kagak se-reog ini. Dia pipis sama berak rapi banget di tempatnya sendiri, bahkan kalau makan juga bersih, gak pernah keluar rumah juga jadi tubuhnya gak ada kotoran tanah atau yang lainnya. Kerajaannya cuma turu. Masa lu kalah sama kucing, Tuyuul!!
Sekitar jam dua dini hari dia bangun dan merengek membisingi satu unit apartemen, masuk jam 4 pagi Nene mulai kelelahan dan terisak kecil di gendongan Aza.
Gue yang ngos-ngosan setengah mati tenangin dia, mulai merangkak meraih segelas air yang ada di atas nakas.
Kami berdua udah dipenuhi bekas cakaran di wajah sampai leher dari hasil karya titisan Mbak Ayuk itu.
"Kamu tak apa?" Asa usap pipi gue yang masih sibuk minum ini.
Selesai teguk sampai tandas itu air, gue jawab. "Iya, lo juga kan? Makasih udah bantu tenangin. Sorry ya, keknya kita gak mampu kalau harus ngurus Nene sebulan, gue gak mau ngerepotin lo juga."
Gue ambil alih si Nene yang mulai terlelap nyaman di gendongan Asa. Tapi, ditolak oleh sang empunya, seakan Asa mengatakan jika dia akan menggendongnya lebih lama lagi.
"Aku tak merasa direpotkan, justru aku senang jika kamu bergantung padaku." Asa benerin rambut gue yang acak-acakan pakai satu tangan, karena tangan yang satu lagi digunakan untuk menimang si bayi.
"Rasanya ini menyenangkan, seperti memiliki keluarga kecil."
Aduh, senyumnya bikin jantung gue ngilu. Manis banget sih suami gue!
"Beneran? Lo gak capek? Dia kan bukan tanggung jawab lo, takutnya lo sebel aja gitu kalau selama sebulan harus kek begini?" Gue senderan ke tubuh besarnya itu dari samping hati-hati, biar si Nene gak kebangun.