Hujan turun rintik-rintik di luar jendela kafe, menciptakan irama lembut yang berbaur dengan suara mesin espresso dan obrolan para pengunjung. Michie duduk di sudut yang tenang, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Cangkir kopi hangat di tangannya sudah setengah kosong, namun perhatian Michie lebih tertuju pada ingatan-ingatan yang tak bisa dia lupakan.
Mata Michie tertuju pada awan kelabu yang menggantung rendah di langit. Setiap kali melihat hujan, ingatannya selalu kembali pada satu momen—hari ketika dia kehilangan segala-galanya. Sejak saat itu, hidupnya tidak pernah sama. Dia menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu, tapi kenangan itu seperti bayangan yang terus mengikutinya.
“Michie, kamu di mana?” suara Rina, sahabatnya, memecah konsentrasi. Rina datang dengan jaket basah, rambutnya berantakan akibat hujan. “Aku sudah menunggu lama!”
“Maaf, aku hanya... berpikir,” jawab Michie pelan, mengalihkan pandangannya dari jendela.
Rina duduk di seberang meja, melihat Michie dengan mata penuh kekhawatiran. “Kamu tidak perlu terus-menerus mengingatnya. Dia sudah pergi.”
“Berbicara tentangnya seolah menghidupkan kembali rasa sakit itu,” ujar Michie sambil meneguk kopi. “Tapi bagaimana mungkin aku bisa melupakan? Dia adalah segalanya bagiku.”
“Dengar, Michie. Aku tahu ini sulit. Tapi kamu tidak bisa menghabiskan hidupmu dalam bayang-bayang masa lalu. Harus ada kehidupan setelahnya,” Rina menekankan.
Michie hanya mengangguk. Kata-kata sahabatnya terngiang di telinganya, tapi hatinya masih berat. Dia ingat betul semua yang telah terjadi. Bagaimana kebahagiaan yang pernah dia rasakan berangsur-angsur lenyap, digantikan oleh rasa sakit dan penyesalan.
Kenangan yang Menyakitkan
Tiba-tiba, pikiran Michie melayang kembali ke dua tahun lalu. Senja itu, di tempat yang sama, di mana dia dan mantannya, Arman, menghabiskan waktu bersama. Dia ingat senyum Arman, tawa mereka, dan semua rencana yang mereka buat untuk masa depan. Semua itu hancur dalam sekejap ketika Arman memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas.
“Kenapa?” pertanyaan itu terus mengiang di benaknya. Michie tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dia hanya tahu bahwa Arman ingin pergi dan meninggalkannya dalam kesedihan.
“Michi, kamu harus move on,” suara Rina menariknya kembali dari lamunan. “Aku mengerti perasaanmu, tapi tidak ada gunanya menunggu seseorang yang tidak akan kembali.”
“Siapa bilang aku menunggu?” jawab Michie dengan nada defensif. “Aku hanya... masih berusaha memahami semuanya.”
Rina menghela napas, mencoba menahan emosi. “Kamu terlalu baik untuk menghabiskan waktu meratapi sesuatu yang tidak bisa kamu ubah. Cobalah untuk melihat ke depan.”
Namun, saat Rina berbicara, Michie tidak bisa mengabaikan kenyataan pahit. Meskipun dia berusaha untuk bangkit, bayangan Arman selalu menghantuinya, muncul dalam setiap sudut kehidupannya. Hanya perlu sedikit waktu bagi Michie untuk merasa kembali terpuruk.
Perubahan yang Tak Terduga
Ketika mereka selesai mengobrol, Rina mengajak Michie untuk pergi ke acara reuni sekolah yang akan berlangsung akhir pekan ini. “Ini kesempatan bagus untuk bertemu orang-orang lama, mungkin kamu bisa menemukan seseorang yang baru,” kata Rina bersemangat.
“Aku tidak tahu...,” jawab Michie ragu. Dia tidak yakin ingin menghadapi masa lalu di hadapan teman-teman lama yang mungkin tahu segalanya tentang hubungannya dengan Arman.
“Datang saja, Michie. Siapa tahu kamu bisa bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah cara pandangmu,” Rina memaksa, matanya berbinar penuh harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terluka Dalam Pelukanmu, Michie.
FanfictionMichie, seorang lelaki dengan hati yang rapuh dan masa lalu kelam, mencintai Cathy dengan cara yang keras dan penuh kendali. Namun, di balik kendali itu, ada perasaan takut dan ketidakmampuan Michie untuk membuka hatinya sepenuhnya. Michie mengangga...