Bab 13: Bayangan di Balik Cerita

7 0 0
                                    

Setelah pulang dari pendakian yang penuh dengan kejadian aneh dan menakutkan itu, Rani dan aku bertekad untuk membagikan kisah kami. Kami mulai menulis, mencatat setiap detail—dari saat pertama kali kami mendaki hingga momen-momen paling menegangkan ketika kami berhadapan dengan roh-roh yang terjebak. Kami berharap, dengan berbagi cerita, kami bisa menjaga ingatan tentang Dimas, Aryo, dan sosok-sosok lain yang telah kami temui di gunung.

Namun, saat kami semakin dalam menulis, ada sesuatu yang aneh terjadi. Setiap kali kami mencatat sebuah bagian, ruangan di sekeliling kami terasa semakin dingin. Cahaya lampu berkedip-kedip, dan suara berbisik mulai terdengar, seolah ada yang mengikuti setiap kata yang kami tulis.

Suatu malam, ketika kami sedang menyelesaikan bagian akhir cerita, Rani tiba-tiba berhenti menulis. “Apakah kamu merasakan itu?” tanyanya, menatapku dengan ekspresi ketakutan.

“Apa maksudmu?” jawabku, merasa ada yang aneh.

“Rasanya seolah ada yang menonton kita,” dia berbisik, suaranya bergetar. “Seolah ada sesuatu di sini.”

Aku mengerutkan dahi, berusaha menenangkan dirinya. “Mungkin kita hanya lelah. Kita telah menghabiskan waktu terlalu lama di sini.”

Namun, saat itu, pintu kamar kami tiba-tiba bergetar, dan suara ketukan pelan mulai terdengar. Kami berdua terdiam, saling memandang dengan ketakutan. “Siapa itu?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar.

“Entahlah,” Rani menjawab, suaranya bergetar. “Mungkin kita harus memeriksa.”

Dengan hati-hati, kami berdua berjalan menuju pintu. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya, dan saat aku melakukannya, ruangan di luar terasa gelap, seolah bayangan telah menyelimuti semua cahaya. Di depan pintu, tidak ada siapa-siapa.

“Ternyata tidak ada,” kataku, sedikit lega, tetapi rasa tidak nyaman masih menggelayuti pikiranku.

Namun, ketika kami berbalik untuk kembali ke meja, kami melihat sebuah buku tebal tergeletak di atas meja. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul yang usang dan berdebu. “Kapan kita meletakkan buku ini?” tanyaku, bingung.

Rani mendekat dan membuka buku tersebut. “Lihat, ini adalah catatan pendakian,” dia berkata, suaranya penuh rasa ingin tahu. “Tapi ini bukan milik kita.”

Aku melihat lebih dekat dan merasakan detak jantungku bergetar. Di dalam buku, ada catatan-catatan tentang pendakian yang menyeramkan, termasuk detail-detail tentang tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi. Nama-nama seperti Dimas dan Aryo muncul di dalamnya, sama seperti gambaran situasi yang kami alami.

“Ini aneh…,” Rani berbisik, membaca salah satu halaman yang penuh dengan tulisan tangan yang tidak teratur. “Sepertinya ini ditulis oleh seseorang yang juga mengalami hal-hal menyeramkan di gunung itu.”

Ketika kami membaca lebih lanjut, kami menyadari bahwa penulis buku ini juga mengalami gangguan yang sama—mendengar bisikan, merasakan kehadiran, dan merasakan kegelapan yang tak terhindarkan. Setiap catatan terasa seperti teriakan dari jiwa-jiwa yang terperangkap, meminta untuk didengar dan dibebaskan.

“Apakah kita harus melanjutkan membaca?” tanyaku, sedikit takut akan apa yang mungkin kami temukan.

“Ya, kita harus tahu lebih banyak,” Rani menjawab, tekadnya kembali menyala. “Kita tidak bisa mundur sekarang.”

Seiring kami membaca lebih banyak, kegelapan di sekitar kami semakin terasa. Suara bisikan mulai menjadi lebih jelas, dan kami bisa mendengar kalimat-kalimat samar yang berulang, “Bantu kami… bebaskan kami….”

Tiba-tiba, lampu padam dan ruangan menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan, kami bisa merasakan angin dingin berhembus, dan suara gemerisik seolah berasal dari sudut-sudut ruangan. Rani menggenggam tanganku erat-erat. “Ini tidak baik, ini tidak baik!” teriaknya, ketakutan.

Aku mencoba menyalakan senter ponselku, dan saat cahaya menerangi ruangan, kami melihat bayangan-bayangan berkelebat, sosok-sosok yang terlihat tidak jelas, tetapi wajah mereka tampak penuh harapan. “Kami di sini… kami butuh bantuan kalian…” mereka berbisik, suara mereka serentak seolah mengisi seluruh ruangan.

Rani dan aku saling berpandangan, dan saat itulah kami menyadari—kegelapan yang kami hadapi tidak hanya berasal dari gunung. Ini adalah kegelapan yang berakar di hati kami, di ingatan kami, dan dalam cerita yang belum sepenuhnya kami ungkap.

“Apa yang kita lakukan?” tanya Rani, suaranya penuh ketakutan.

“Kita harus menyelesaikan apa yang telah kita mulai,” jawabku, mencoba menenangkan dirinya. “Kita harus menulis tentang mereka, tentang apa yang terjadi di gunung, agar mereka bisa bebas.”

Kami kembali ke meja, dan saat kami mulai menulis dengan panik, kata-kata itu mengalir dengan sendirinya. Kami mencurahkan semua rasa takut, harapan, dan cinta ke dalam tulisan, menggambarkan setiap detail pengalaman kami. Setiap kalimat seolah melepaskan kekuatan yang telah lama terkurung.

Sementara kami menulis, kami merasakan kehadiran sosok-sosok itu semakin mendekat. Mereka tampak lebih jelas, wajah mereka menunjukkan rasa syukur, tetapi juga keputusasaan. “Kami terperangkap… terperangkap dalam cerita ini,” mereka berkata, suara mereka melengking.

“Aku janji, kita akan membantu kalian!” teriakku, berusaha sekuat tenaga.

Saat kami menyelesaikan tulisan terakhir, cahaya lampu kembali menyala dan suara bisikan mulai mereda. Kami berdua terengah-engah, merasakan kelegaan yang luar biasa.

“Apakah kita berhasil?” Rani bertanya, matanya bersinar.

Aku mengangguk, meskipun aku tahu kegelapan itu mungkin belum sepenuhnya pergi. “Kita harus mencetak cerita ini, membagikannya kepada dunia. Mereka tidak boleh dilupakan.”

Dengan tekad baru, kami memutuskan untuk menerbitkan kisah kami dan mengangkat suara mereka yang terperangkap. Kegelapan mungkin masih ada, tetapi dengan setiap kata yang kami tulis, kami berusaha melawan dan membebaskan jiwa-jiwa yang telah lama terkurung.

Kisah kami akan menjadi sebuah pengingat—bahwa di balik setiap pendakian, ada kegelapan yang bisa dihadapi, dan setiap cerita memiliki kekuatan untuk membebaskan.

Namun, meski kami merasa telah mengambil langkah maju, kami tahu bahwa bayangan itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Kami harus tetap waspada, karena kegelapan selalu memiliki cara untuk kembali, dan kami akan selalu bersiap untuk melawannya.

Jangan lupa vote ya!!!

Jejak di puncak [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang