36. TERUNGKAP

135 21 4
                                    

"Yang menyakitkan itu bukanlah realitas, melainkan ekspektasi kita yang terlalu tinggi terhadap sesuatu"

HAPPY READING

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Gibran tahu ini adalah saat yang tepat. Ia segera bergerak menuju taman kecil di belakang sekolah.

Ketika ia tiba, Adara sudah duduk di bangku kayu tua, memandang lurus ke depan. Ada ketegangan di wajahnya, tapi begitu ia melihat Gibran datang, ekspresinya berubah menjadi datar. Ia tidak tersenyum, tidak juga menunjukkan kemarahan. Hanya dingin.

"Ada apa lagi, Gibran?" tanyanya tanpa basa-basi. "Gua kira semuanya udah selesai di aula tadi."

Gibran merasakan dadanya sesak, tapi ia menahan diri. "Dara, gua tau lo udah capek sama semua ini. Tapi gua perlu lo dengerin, cuma sebentar aja. Ada sesuatu yang lo perlu lihat."

Adara memandangnya ragu, lalu melipat tangannya di depan dada. "Bukti apalagi yang mau lo kasih kali ini? Pak Wisnu sendiri udah bilang kalau tuduhan lo enggak benar."

Gibran menggeleng cepat. "Karena mereka main curang, Dara! Kirana punya koneksi yang bisa bikin dia ngontrol keadaan. Tapi gua punya sesuatu yang lebih dari sekadar data palsu. Ini... ini bukti asli dari percakapan Kirana."

Ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan beberapa rekaman video yang Irsyad berikan. Adara menatap layar dengan ekspresi terkejut, lalu perlahan matanya membesar saat melihat Kirana dan Rahsya berbicara tentang memanipulasi sistem sekolah, bahkan menyebut Pak Wisnu.

"Ini... ini..." Suara Adara bergetar. "Jadi, selama ini mereka..."

"Mereka yang ngerencanain semuanya," kata Gibran dengan nada lirih. "Gua enggak pernah bohong ke lo, Dara. Gua cuma... gua cuma pengen lo tau yang sebenarnya."

Adara tetap diam, menatap video itu tanpa berkedip. Setelah beberapa menit, ia akhirnya menutup ponsel Gibran dengan gerakan pelan.

"Kenapa lo baru kasih tau ini sekarang?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik. "Kalau lo punya bukti sekuat ini, kenapa lo enggak langsung lapor aja?"

"Karena gua butuh lo percaya dulu sama gua," Gibran menjawab jujur. "Gua butuh lo buat bantu gua nyebarin kebenaran ini ke orang-orang yang bener. Kalau gua yang nyebarin, enggak akan ada yang percaya."

Adara menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu. "Jadi, lo minta gua buat... ngebela lo, gitu?"

"Bukan buat gua," kata Gibran cepat. "Buat kebenaran. Gua tau ini kedengeran lebay, tapi kalau kita diem aja, Kirana dan Rahsya bakal ngerusak hidup orang-orang lain juga. Ini enggak cuma soal gua sama lo lagi, Dara."

Adara terdiam, ekspresinya tak bisa dibaca. Lalu perlahan, ia mengangguk.

"Oke," katanya pelan. "Gua bakal bantu lo. Tapi cuma satu kali ini, Gibran. Kalau ini masih bohong, gua enggak akan pernah percaya sama lo lagi."

Gibran tersenyum penuh syukur, rasa lega mengalir di tubuhnya. "Gua janji, Dara. Gua janji, semua ini bener."

Adara menatapnya sekali lagi, lalu bangkit dari bangkunya. "Kalau gitu, kita harus cepat. Sebelum Kirana atau Rahsya nyadar apa yang kita punya."

"Lo bener," jawab Gibran, matanya penuh tekad. "Kita harus hentikan mereka sebelum mereka bisa ngehancurin lebih banyak lagi."

⚝⚝⚝

Perantara GidaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang