1. The sound of the hammer

73 20 13
                                    

"Kalian denger suara ketukan palu, nggak?" Mada bertanya ketika yang lain sedang sibuk membersihkan ruang tamu bersama-sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kalian denger suara ketukan palu, nggak?" Mada bertanya ketika yang lain sedang sibuk membersihkan ruang tamu bersama-sama. Perwira terdiam, dirinya menoleh ke seluruh sudut rumah. Mencari-cari suara ketukan palu, tetapi tak terdengar apapun selain suara jangkrik yang masih nyaring di pagi hari.

"Gak ada tu, telingamu kebanyakan disumpel¹ headphone kali. Makanya sampe bisa denger suara kayak gitu." Satra berceletuk, ia menggenggam kemoceng bulu di tangannya. Di sampingnya, ada Laksana yang menggenggam erat sapu dengan gagang merah.

"Beneran, aku gak bohong!" Mada berusaha bersuara dengan kencang.

"Udah ah ... cepet bersih-bersihnya. Keburu mager³." Magdha terlihat memegang kanebo di tangan. Jendela di depannya masih terlihat berdebu dan tak bening, memang rumah itu sudah hampir satu bulan tak ditinggali. Tentu hal yang wajar jika rumah itu kotor dan perlu waktu lama untuk dibersihkan.

"Istirahat dulu, nih minum." Mardha datang membawa nampan berisi ceret dan sepiring kue kering, gelas-gelas plastik berwarna juga tersusun rapi. Ia nampak mengunyah sembari berjalan. Nampan itu ia letakkan di meja yang tak jauh dari saudaranya yang lain. "Kenapa sih? Suara Mada kedengeran dari dapur."

"Aku denger suara palu diketuk ke dinding, kamu denger gak, Dha?" Mardha menatap ke arah Mada. Ia menggeleng, sedari tadi dirinya tak mendengar suara apapun selain suara katak-katak yang berbunyi nyaring di samping rumah. Kemarin malam memang hujan, itulah sebabnya mengapa katak muncul.

"Masa gak ada yang denger selain aku?"

"Alah ... efek ngantuk kamu tuh. Udah sini minum, Mardha udah siapin nih." Perwira menuang isi ceret ke gelas-gelas. Susu coklat tertuang di gelas-gelas plastik berwarna-warni. "Nih, ambil sendiri. Jangan manja."

"Ambilin Kak." Laksana membuka suara, Perwira yang tadinya ingin menyeruput susunya kini terhenti. Ia menghela napas dan berputar balik ke arah susu yang ia tuang. Sebuah gelas plastik berwarna biru dirinya ambil. Ia lalu berjalan ke arah adiknya.

"Nih ... udah dibilang jangan manja." Gelas itu Perwira sodorkan dan diterima oleh Laksana dengan cepat. "Awas ... panas." Perwira mengatakannya setelah Laksana terlihat meringis kepanasan. Wajah adiknya itu nampak cemberut, tetapi perlahan-lahan ia segera menyeruput susu itu.

Suara ketukan pada dinding terdengar nyaring, membuat semua yang ada di rumah itu terdiam. Mada menoleh pada yang lainnya dan berbicara menggunakan wajah.  "Gila ... siapa sih yang iseng?" Magdha mendengus, ia menatap penjuru rumah dengan mata tajamnya.

Mada, si anak berbadan besar itu pun berjalan dan meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata. Yang lain memandang dirinya penuh kebingungan. Akan tetapi, mereka tetap mengikuti ke mana Mada pergi. Tak terkecuali Bahtara, kakak tiri Mada. Ia sebenarnya cukup malas untuk mengikuti adik tirinya, tetapi karena saudara yang lainnya mengikuti, terpaksa ia harus ikut.

"Mada, mau ke mana sih?" Perwira membuka suara setelah mengikuti Mada beberapa menit. Suara ketukan itu kadang terdengar, kadang pula menghilang. "Gak akan—"

Andalas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang