Satra dan Laksana kini telah dilanda panik karena Bahtara dan Mada yang kini kejang-kejang kembali. Ia tak tahu harus melakukan apa. Arta yang baru datang juga tak dapat membantu apapun. Sedari tadi dirinya hanya berjaga tanpa menyentuh keduanya.
"Bagaimana ini? Mereka benar-benar membutuhkan obat itu." Ada kilatan panik di mata milik Arta. Ia benar-benar khawatir akan keselamatan mereka berdua.
"A-apa obat pereda demam itu masih ada?" Satra bertanya pada Arta. Yang ditanyai mengangguk dan memberikan obat tersebut yang berada di kamar lain.
"Ini ... tapi hanya tinggal sedikit. Keadaan mereka tergantung obat ini." Memang betul, botol itu berisi cairan yang masih sedikit. Satra segera meminumkannya pada mereka dan kejang mereka segera hilang.
"Kalau pun mereka harus pergi, aku akan ikhlas." Ia mengatakannya dengan lemas. Matanya hampir memanas, begitu juga dengan Laksana yang sudah menitikkan air matanya sendiri.
***
"Apa? Aku, menjadi pemimpin kalian? Mengapa? Aku bahkan bukan bagian dari kalian, mempunyai darah keturunan dari kalian saja aku tak punya." Perwira langsung menolak begitu mendengar pernyataan orang di depannya. Yang lain kini langsung menatap dirinya. Menang Perwira adalah yang paling berbeda dari mereka semua. Sialan, Perwira jadi kesal sendiri. Tak seharusnya dia seperti ini.
"Tetapi bagaimana pun, kau harus menepati janji. Kami membutuhkan seorang pemimpin." Perwira bahkan tak tahu janji apa saja itu. Ia bahkan tak pernah membuatnya, namun mengapa dirinya malah harus menempati janji. Perwira terus saja menggeleng tak terima.
"Maka dari itu tak ada cara lain." Orang itu kini juga mengeluarkan asap-asap seperti Wira yang sedang marah. Ia memanggil para penjaga untuk masuk dan membawa mereka semua untuk keluar. Mereka kini memberontak tak ingin dibawa kemana-mana.
Saat keluar, mereka semua dapat melihat singgasana raja. Singgasana ini terbuat dari kayu-kayu, terdapat mahkota yang terletak di singgasana tersebut. Singgasana itu terlihat nyaman. Perwira jadi ingin mendudukinya. Tidak—Perwira harus menahannya. Ia harus memberontak dan tak membiarkan siapa-siapa menyuruhnya untuk duduk di sana.
"Wira! Lari! Wira jangan mau untuk duduk di singgasana itu!" Resia berteriak sembari akan berlari ke arahnya. Namun, hal itu sia-sia. Perwira masih saja pergi untuk duduk. "Can! Bangun! Jangan tidur!" Candhastra segera membuka matanya dengan lebar. Ia melihat segrumbulan orang-orang menatapny. Segera dirinya berubah wujud menjadi gagak. Bukan gagak kecil, tetapi gagak besar seperti tadi malam. Tentu hal itu membuat mereka semua terkejut. Parang-parang mereka kini di keluarkan. Mereka semua akan melawan Candhastra yang terbang mengganggu mereka.
"Jangan melukainya!" Api besar berkobar ke tumpukan kayu depan singgasana. Entah mengapa, hal itu membuat pada penduduk antusias dan bahagia.
"Hidup yang mulia raja! Hidup sang pemimpin baru!" Perwira mendengarnya. Ia bahkan tak tahu bahwa tumpukan kayu itu bagian dari ritual mereka. Ia bahkan tak tahu bahwa dirinya kini menjadi sang pemimpin penduduk tersebut. Ia bahkan tak menyadarinya. Lagi pula, sejak kapan mahkota yang berada di singgasana itu kini berubah tempat di atas kepalanya. Kejadiannya begitu cepat, Perwira bahkan belum bisa berkedip. Hidup memang sedikit lucu pada Perwira. Tapi tak apa, artinya dia memiliki pasukan untuk membantu melawan raja kegelapan bukan? Namun dirinya masih kesal setengah mati dari keadaan ini. Ia tak ingin sama sekali, tetapi ternyata itu adalah tradisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andalas
FantasíaMau memeriksa dindingmu? Siapa tahu di sana terdapat pintu yang menembus hingga ke dunia lain. Nampak mustahil, benar? Namun ini kenyataan, tujuh orang saudara ini menemukan pintu rahasia saat membersihkan rumah peninggalan keluarga mereka. Awalnya...