🌕

201 25 52
                                    

Langit terik seperti menyimpan dendam.

Matahari menyala dengan gairah yang tak kenal ampun, membakar tiap inchi tanah desa yang tenang itu. Angin berhembus pelan, nyaris seperti enggan menyentuh kulit.

Di kejauhan, suara Mingi masih terdengar samar-samar saat ia memanggul cangkul di pundaknya, melangkah pergi menuju ladang yang jauh dari rumahnya yang sederhana. Yunho, seperti biasa, tinggal di rumah, menjaga kebun kecil yang menjadi denyut nadi hidup mereka berdua.

Rumah mereka sederhana, hanya berdinding kayu yang memeluk erat kehangatan di dalamnya. Di sisi rumah, kebun kecil itu tersusun rapi. Di bawah keteduhan pohon-pohon yang lelah menyaring teriknya hari, tumbuhan tumbuh segar-seperti potongan kecil surga yang jatuh di dunia fana.

Yunho berjongkok di tengah kebun, tangannya meremas lembut tanah basah, namun hari ini, rasa kantuk dan kelelahan merayap lebih cepat dari biasanya. Setiap gerakannya menjadi lamban, setiap nafasnya semakin berat.

Panas menyengat itu menggigit tanpa ampun, menghantam tubuhnya seperti badai. Yunho menghapus keringat yang menetes deras di dahinya, tapi kakinya goyah. Tiba-tiba, dunia sekitarnya berputar dengan liar. Pandangan matanya mengabur, dan tubuhnya merosot ke tanah seperti daun yang jatuh tanpa suara.

Di rumah sebelah, Seonghwa yang sedang melintas di depan kebun segera melihat Yunho terkapar tak bergerak. Wajahnya seketika berubah pucat. "Yunho!" Seonghwa berlari mendekat.

Jongho yang sedang memotong kayu di depan rumahnya, melihat keributan itu dan langsung berlari menghampiri. "Seonghwa! Ada apa?"

"Yunho pingsan!" jawab Seonghwa panik. Mereka segera mengangkat tubuh Yunho dengan hati-hati, dan dengan ketergesa-gesaan, membawanya masuk ke dalam rumah, meletakkan Yunho di atas tempat tidur. Nafas Seonghwa tersengal-sengal, tapi matanya tetap tertuju pada Yunho yang terbaring lemah. "Cepat! Panggil tabib! Jangan tunda lagi!"

Jongho tidak perlu mendengar dua kali. Ia langsung berlari, menerobos jalan setapak yang berdebu, meluncur secepat mungkin ke arah rumah tabib desa yang berada di ujung jalan.

Mingi tiba di rumah tak lama setelah itu, kepulan debu mengikuti jejak langkahnya. Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia melihat Seonghwa sedang duduk di samping tempat tidur, menatap Yunho yang pucat.

"Yunho?!" seru Mingi, nafasnya tercekat. "Apa yang terjadi pada Yunho?"

Seonghwa menoleh, lalu berdiri. "Dia pingsan di kebun. Aku tak tahu persis kenapa, tapi Jongho sudah memanggil tabib."

Mingi terdiam sejenak, tapi hanya sejenak, sebelum ia bergegas menuju Yunho. Tangannya gemetar ketika ia menyentuh dahi Yunho, merasakan suhu tubuhnya yang terlalu hangat, terlalu asing. "Yunho ..." suaranya parau, penuh kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan.

Yunho membuka matanya perlahan, menatap Mingi dengan senyum lemah di wajahnya. "Aku ... hanya kelelahan, Mingi. Panasnya terlalu menyengat hari ini."

"Kenapa kau tidak istirahat saja?" tanya Mingi, intonasinya bercampur antara marah dan takut. "Kenapa kau memaksakan diri?"

Yunho menggeleng pelan. "Kebun ... butuh dirawat. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."

Namun sebelum Mingi sempat membalas, suara pintu diketuk. Tabib tua yang dipanggil Jongho akhirnya tiba. Dengan langkah berat dan sorot mata penuh kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah melalui lebih banyak musim dari yang bisa dihitung, ia mendekati Yunho, memeriksa denyut nadinya, memeriksa pandangan matanya.

Seonghwa dan Jongho berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan cemas. Tabib itu hanya diam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis, seakan ada rahasia besar yang baru saja terungkap di dalam hatinya.

El Lobizón Alpha 🐺 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang