𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟏; 𝐁𝐮𝐦𝐢 𝐏𝐚𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐬

4 1 0
                                    

𝐇𝐚𝐥𝐥𝐨!

Sebelumnya senang bersua dengan semua. Kalau ada kesalahan tulis-typo, penulisan yang tidak rapi, penataan bahasa yang tidak atau kurang tepat, penyampaian yang berbelit, mohon maaf dan bisa dikoreksi di kolom komentar.

CERITA INI BERSIFAT FIKTIF DAN TAK BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SEBENARNYA. TERMASUK SETTING KARAKTER, NAMA, TEMPAT, WAKTU, LATAR BELAKANG, DAN DESKRIPSI DETAIL.

• 𝐃𝐈𝐒𝐂𝐋𝐀𝐈𝐌𝐄𝐑

1. Cerita ini bersifat FIKSI

2. Cerita ini benar tulisan saya. Apabila ada kesamaan dengan cerita lain, mohon maaf, tidak disengaja, dan silahkan koreksi

3. Kebanyakan bernarasi

4. FC IDOL yang bersangkutan sebatas INSPIRASI

⚠️ 17+
⚠️ Bijak dalam memilih bacaan
⚠️ Tidak menarik cerita ini pada lapak orang lain ataupun lapak FC

🌍🌄

  Ruang tengah terasa begitu sesak dan dingin saat aura tidak mengenakan keluar dari sosok wanita cantik yang kini usianya hampir mendekati setengah abad. Rasanya seperti dejavu saat terkena sidang saat ketahuan mencuri mangga milik pak RW beberapa tahun silam, kini laki-laki yang baru tiba di rumah sekitar tiga puluh menit yang lalu itu memutar matanya melihat ke segala arah agar tidak bertemu tatap dengan mata bulat milik si wanita.

"Dapet apa kamu setelah pergi-pergi kaya gitu?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada dingin itu makin membuat si laki-laki kaku tidak berani membuka mulut barang sejenak.

"Sabar, kalau kamu emosi gini yang ada Abang makin takut sama kamu," elusan lembut dari pria yang masih mengenakan setelan rapi itu mendarat di pundak si wanita.

"Dapat apa kamu Bumi?!" Bukannya reda, gejolak emosi si wanita makin menjadi saat tidak ada satupun sahutan yang diterima.

"Dapet apa kamu lima tahun pergi dari rumah? Dapat apa kamu pergi dan gak pulang-pulang itu? Dapat apa, hah!"

Kepala si laki-laki makin menunduk. Kumpulan bulu-bulu gelapnya yang diberi pewarna two tone dengan model mullet itu jatuh sebagian menutupi mata. Air mata tanpa isakan juga ikut keluar dari mata bulat si lelaki. Salah. Ia mengaku kalau kelakuannya itu salah.

"Sayang," Direngkuhnya tubuh bergetar si wanita untuk masuk kepelukannya. "Biar aku aja yang ngobrol sama Abang. Kamu mending jernihin dulu pikiran kamu, kalau ngomong sambil emosi gini bukannya selesai malah meleber kemana-mana nantinya,"

Si wanita hanya bungkam. Sampai tangan putra sulungnya hinggap di bahu dan membawa tubuhnya untuk beranjak pun si wanita masih tetap bungkam. Tidak menolak tapi juga tidak memberi reaksi apa pun.

Pria jangkung yang duduk di sofa panjang itu menepuk sisi sebelahnya yang telah kosong. Dengan sungkan dan wajah yang masih setia menunduk, ia bawa tubuhnya untuk beranjak dari sofa single dan duduk disamping kakak iparnya itu.

"Ma-mas maaf...," Belum usai ia berbicara tiba-tiba badannya direngkuh. Hangat. Kapan terakhir kali dirinya mendapatkan pelukan sehangat ini.

"Pamungkas."

Glek. Bumi langsung duduk tegap. Pamungkas. Nama panjangnya yang jarang disebut selain saat pembicaraan yang akan terjadi bisa dikatakan serius dan mendalam.

"Kalau Mas panggil itu dijawab, Pamungkas." Nada suaranya terdengar tanpa bentakan atau tekanan yang berarti tetapi Bumi tetap bungkam dengan posisi duduk yang semakin tegap.

Hening setelahnya menyelimuti ruang tengah kediaman orang tua Bumi. Bumi yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menunduk dan mungkin kembali meneteskan air mata saat mata bulatnya tidak sengaja mengedar dan bertemu tatap dengan figura besar yang tergantung di dinding sebelah kiri dekat dengan deretan figura berisi potret Bumi kecil sampai remaja dan lulus kuliah sekitar lima tahun lalu.

GERBONG DUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang