"Aku udah tolak! Nomornya mau aku blokir juga, tapi aku kasian sama temen-temen yang lain, dia suka neror mereka buat tanya-tanya aku dimana, lagi sama siapa, kenapa nomor aku nggak bisa dihubungin, temen aku banyak yang ngeluh risih. Aku jadi kasian sama merekanya,"
Eros menarik nafas panjang. Kesal tetapi tidak ada kata yang mampu Eros lontarkan untuk mendebat pembelaan Senja.
"Yaudah kasih nomor gue ke dia. Bilang aja kalau itu nomor baru lo." Tidak ada pilihan lain selain mengalah dan Menindaklanjuti kelakuan lelaki obsesi yang menggelikan ini.
"Hihi ... Makasih Abang ..., sayang Eros banyak banget banget!"
"Sorry, gue lebih sayang diri sendiri sama sayang mami,"
Senja mendelik, manik dengan iris coklat madu itu berakhir menatap nyalang, "jelek banget. Aku gak jadi sayang kamu!"
"Haha... Jelek banget ngambeknya," Eros usak lembut helai lembut sebahu itu. "Buat permintaan maafnya, gue traktir es potong mas Joko sepuluh, asal gak ketahuan Zero."
Senja langsung berdiri tegap, menarik lengan Eros yang jemarinya jauh lebih panjang dengan telapak tangan juga lebih besar, menautkan kelima jemarinya di sela jemari Eros. Nyaman. Senja suka rasanya saat kedua tangan itu saling mengisi sela-sela jari yang kosong.
"Es potong..., meluncurrrr,"
Dengan tanpa memberi beban pada tubuhnya, Eros biarkan Senja menariknya untuk ikut berlari bersama kaki-kaki mungil Senja, sahabat kecilnya yang baik dan paling tangguh tetap saja terlihat seperti anak umur lima tahun saat mendapat ajakan membeli es potong legend mas Joko.
Pertama kali menginjakan kaki di perumahan ini itu saat Senja baru berusia sekitar delapan tahunan. Senja ingat betul hari itu baru sekitar satu minggu Senja pindah ke perumahan ini setelah sebelumnya sejak bayi 3 hari Senja dibesarkan di kota sebrang. Senja kecil tengah duduk di kursi panjang depan lapangan karena menunggu bibi dan paman yang sebelumnya pamit untuk mengurus kepindahan kerja.
Senja kecil duduk sendiri, ingin ikut bermain dengan teman sebayanya yang kebetulan hari itu banyak yang sudah pulang sekolah dan bermain di lapangan tetapi malu, lebih tepatnya Senja kecil tidak suka bertemu orang baru apalagi kalau ditanyai bermacam-macam pertanyaan, Senja kecil sangat tidak senang sekali.
Saat tengah duduk itu, Senja kecil melihat seorang remaja laki-laki yang berjalan dengan wajah yang penuh dengan senyum ramah dan begitu bersinar cerah.
"Hallo..., Adek manis mau es potong, gak?" Suara remaja itu sudah terdengar berat efek puber yang sudah melanda remaja laki-laki berseragam SMP itu.
"Kenalin, aku Bumi. Aku seminggu yang lalu ikut jemput sama ibu,"
Senyum Bumi-remaja berseragam SMP-itu tercetak makin cerah merekah saat uluran es potong berwarna merah muda itu diterima walaupun wajah Senja kecil masih tampak ragu dan sedikit takut (?) mungkin.
"Kamu kalau mau berbuat baik jangan pakai es potong orang kali," Seorang anak laki-laki berseragam merah putih yang vest luarnya sudah tersampir di satu lengan dan seragam putihnya mencuat keluar menginterupsi Senja kecil untuk menarik lengannya kembali.
"Majok...," Teriakan Senja yang tidak ada keras-kerasnya itu malah mendapat sentilan di telinga kirinya.
"Majok mana denger, lalat yang lewat juga gak bakalan engeh kalau ada orang teriak,"
Senja memukul bisep Eros dengan kencang. "Yaudah kamu aja yang teriak, tenggorokan aku sakit,"
Sambil mengelus-elus bisep, Eros menarik nafas panjang lalu, "MAJOK ES POTONGNYA LIMA BELAS BAYARNYA NANTI VIA QRIS."
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG DUA
Teen Fiction-; kematian merupakan momok paling mengerikan. Bukan, bukan masalah yang mati belum ingin pergi atau yang mati akan berubah menghantui. Melainkan mereka yang ditinggal, merasakan sebuah kehilangan dan kekosongan, meminta untuk segera diminta pulang...