Istanbul

72 5 0
                                    

"Sampai juga.." gumam lelaki muda itu begitu menginjakkan kakinya di bandara pagi ini. Di negara lintas benua Asia Eropa tersebut, Pandu Wintara berdiri.

Ini adalah kali pertama Pandu berlibur ke Turki. Sebuah pilihan yang tak lazim memang, mengingat Pandu sesungguhnya dapat memilih negara manapun sebagai destinasi pilihannya hanya dengan sentuhan jari di ponsel, dengan kata lain ia hanya perlu menyuruh anak buah ayahnya dan kurang dari tiga hari pun ia sudah dapat menerima tiket pesawatnya.

Namun kali ini berbeda, kali ini semua urusan melancongnya, dari memilih destinasi sampai mengurus visa, Pandu telah mengaturnya sendiri.

Dua puluh dua tahun Pandu hidup dibawah kukungan orangtuanya, dimana ia tidak pernah dapat bebas pergi kemanapun tanpa izin ayah dan ibunya.

Bahkan ketika liburan musim panas, Pandu tetap harus menurut pada mereka berdua. Bila harus ke Paris, maka Pandu akan ke Paris. Bila harus ke Bali, maka ia pun akan pergi ke Bali.

Mungkin untuk pertama kalinya Pandu merasa dapat menikmati betapa repotnya mengurus liburannya sendiri. Ditambah ada alasan spesial kenapa Pandu memilih destinasi ini.

Bertahun-tahun, Pandu bermimpi untuk naik balon udara, bermimpi untuk terbang di langit yang begitu tinggi di sebuah kota kecil namun sarat akan keindahan dunia milik sang pencipta, ialah Cappadocia.

Bertahun-tahun juga Pandu berusaha memberikan kode kepada ayah ibunya untuk mengajaknya kesana sejak remaja, yang sangat jelas ditolak mentah-mentah oleh ayahnya.

"Gimana kalau nggak aman? Kamu jangan aneh-aneh, Pandu."

Begitu kilah ayahnya setiap kali Pandu mengajaknya kesana. Dasar kelewat protektif, gerutunya setiap kali.

Menyebalkan memang menjadi anak bungsu, seakan seluruh perhatian orangtuanya hanya akan jatuh padanya. Namun, kali ini Pandu merasa sudah dewasa. Maka saat ini Pandu memakai kesempatan solo travellingnya itu, yang telah di janjikan ayah dan ibunya begitu pendidikan sarjananya selesai untuk kesini.

Lamunan Pandu pecah kala ia melihat satu koper besar miliknya yang tergeletak di atas conveyor belt bagasi kini mendekat kearah tempatnya berdiri. Dengan susah payah Pandu mengangkat koper tersebut menggunakan tangannya sendiri.

"Biasanya ada ajudan ayah yang angkatin koper aku." begitu keluhnya sembari menaruh kopernya di atas troli, kemudian ia menggelengkan kepalanya.

Nggak, nggak boleh ngeluh, aku bisa. Begitu batinnya.

Maka dengan langkah ringan, Pandu berjalan dengan mendorong trolinya keluar dari tempat pengambilan bagasi, berjalan diantara ribuan wisatawan dan warga lokal yang sedang berlalu lalang di bandara Istanbul.

Pandu tak henti-hentinya mengerjap kagum dan menganga melihat langit yang begitu biru dan awan yang begitu putih di tempat ia kini berpijak. Beruntung Pandu memilih untuk pergi kemari saat musim panas. Mataharinya memang terik, namun anginnya sepoi-sepoi, sehingga ia tak merasa panas di tengah-tengah keramaian tersebut.

Berulang kali Pandu mengucap kata 'wow' ketika pandangannya tertuju ke arah bangunan berkubah biru bernama -jika Pandu tak salah ingat- masjid Sultan Ahmed itu, tapi banyak orang lebih sering menyebutnya masjid biru.

Bangunan yang begitu indah dan megah, sangat kokoh sebab terbenteng oleh pilar-pilar yang tinggi. Sangat besar nampaknya, Pandu belum tau karena belum masuk ke dalamnya. Maka, dengan antusias dan rasa penasaran yang tinggi, Pandu melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan megah berasitektur kekaisaran ottoman tersebut.

Pandu mengucap syukur karena sudah dikaruniai dua pasang bola mata untuk melihat keindahan bangunan itu. Masih tak percaya buatnya bahwa bangunan ini dibangun sepenuhnya oleh tangan manusia di zaman dahulu kala.

Found Him In Türkiye • [DunkPhuwin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang