Kamis, 03 Oktober 2024
Hai Jo, selamat datang di cerita author pemula ini.
Kisah Aiza yang mengagumi salah satu manusia di bumi.
Semoga kamu yang membaca menyukai setiap kata yang aku tulis. Aamiin <3
Happy Reading Jo♡
P R O L O G
Senang bisa sedekat itu denganmu.
***
Sabtu 05 Agustus. Di SMA ANTARIKSA yang sering di singkat SMANSA, sekolah yang berada di pinggiran kota itu sedang melaksanakan acara setiap tahun yaitu perjusa.
Perjusa singkatan dari perkemahan sabtu minggu. Perjusa di adakan setelah selesainya masa MPLS selama empat hari.
Di bagian pinggir lapangan bola SMANSA banyak berdiri tenda-tenda siswa-siswi baru. Suasana terlihat sepi karena para siswa-siswi melakukan jelajah medan yang telah di tentukan kakak panitia Pramuka.
Agustus di awali dengan pertanda akan datangnya musim hujan. Langit yang semula berwarna biru cerah itu sekarang sebagiannya di tutupi oleh gumpalan-gumpalan seperti kapas berwarna kelabu. Cahaya panas menembus celah-celah gumpalan itu menambah kesan bahwa ada dua kemungkinan yang akan terjadi, hujan atau tidak.
Seperti kehidupan selalu ada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang. Karena itu, tidak ada salahnya manusia berharap tentang kemungkinan itu.
Baru berbicara tentang kemungkinan, ternyata awan kelabu itu menurunkan rintik hujan yang deras. Membasahi sebagian kecil di Bumi yang luas ini.
"Masih kuat nggak?" tanya Nada kepada Aiza yang berdiri di sampingnya seraya memeluk tubuhnya sendiri.
Bibir Aiza terlihat pucat, tubuhnya menggigil, seragamnya basah karena di guyur hujan deras tapi ia masih menganggukkan kepalanya merespon pertanyaan Nada.
"Kuat," lirih Aiza.
"Ih kamu kayak gini masih bilang kuat," ujar Cahya kesal.
"Kalau nggak kuat, aku cari kakak panitia biar bawa tandu kesini," lanjut Cahya menawari dengan nada khawatir.
Mereka bertiga saat ini sedang berteduh di depan gubuk yang hampir roboh, di pinggir jalan, di jalur jelajah medan. Di sekitar hanya terdapat hutan pinus dan tidak ada rumah sama sekali.
Angin kencang membawa air hujan ke depan gubuk itu. Membuat ketiga siswi memilih untuk masuk ke dalam gubuk. Aiza duduk meringkuk, sedangkan Nada dan Cahya berdiri menatap hujan di luar yang di lengkapi dengan kabut tebal.
"Kenapa nggak ada yang lewat, ya?" monolog Cahya seraya mengusap lengannya.
"Iya, mana seram banget di luar," tambah Nada.
Cahya melirik Aiza yang sedang menggosok kedua tangannya agar terasa hangat. Walau udara semakin dingin.
Sekitar sepuluh menit mereka berada di gubuk itu, Hujan di luar tetap tidak mereda. Seakan masih betah untuk mengurung ketiga siswi itu di dalam gubuk. Bahkan siswa-siswi lain tidak ada yang lewat atau meneduh bersama mereka.
Overthingking mulai menyerang pikiran mereka. Bagaimana kalau di luar tetap hujan? Bagaimana cara mencari bala bantuan kalau keadaan tidak memungkinkan? Bagaimana kalau nggak ada yang menemukan mereka? Pikiran-pikiran itu merambat kemana-mana menjadi ketakutan.
Cahya duduk dengan kepala Aiza di atas pahanya, sedangkan Nada mencoba menggosok tangan Aiza agar suhu badan Aiza tetap hangat. Kekhawatiran terlihat jelas dari raut wajah mereka. Bahkan Nada dan Cahya melupakan rasa dingin yang juga menyerang tubuhnya ketika keadaan Aiza semakin parah, tubuhnya semakin menggigil, bibirnya bergetar cepat, dengan matanya yang terpejam.
Aiza merasakan kedinginan yang luar biasa dengan kesadarannya yang semakin menghilang. Sebelum kesadaran Aiza sepenuhnya menghilang, netra mata Aiza menangkap sosok laki-laki yang ia kenal tetapi tidak dengan namanya, sosok laki-laki yang membuat hatinya berdebar hanya dengan melihatnya walau dari kejauhan, sosok laki-laki yang selama ini tidak pernah tau keberadaannya.
***
Aiza mengerjab pelan menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Aiza menatap langit-langit yang berwarna putih kemudian bola mata Aiza melirik sekitar dengan alisnya mengernyit. Kepalanya terasa ngilu.
"Gimana keadaannya, Dek?" Tanya perempuan menghampiri Aiza yang Aiza yakini itu adalah kakak kelas.
"Masih pusing, Kak," jawab Aiza lirih.
"Yaudah, tiduran dulu. Mau teh anget nggak?" tawar perempuan itu.
Aiza mengangguk pelan. Perempuan itu beranjak berjalan keluar dari ruangan itu. Tidak ada satupun orang di ruangan itu selain Aiza.
Aiza kembali menatap langit-langit ruangan itu. Ternyata begini rasanya kehilangan kesadaran karena terkena hipotermia. Aiza tidak sadar siapa saja yang menolongnya, ia cuman mendengar samar-samar suara mereka.
Cukup lama terbengong perhatian Aiza teralihkan oleh pintu UKS yang terbuka menampilkan sosok laki-laki berperawakan tinggi dengan bahunya yang lebar.
Nafas Aiza tercekat ketika laki-laki itu berjalan mendekati Aiza, Aiza melempar pandangan ke arah mana pun agar tidak bertemu dengan netra mata laki-laki itu.
"Gimana, keadaannya?" suara berat dan serak itu menyapa indra pendengaran Aiza membuat jantung Aiza berpacu cepat.
Otak Aiza seketika tidak berkerja.
"M-mendingan, Kak," jawab Aiza tanpa menatap laki-laki itu.
Laki-laki itu mengangguk pelan seraya menaruh gelas yang berisi teh hangat pesanan Aiza.
"Di minum. Gue keluar dulu," ucapnya lalu berbalik berjalan keluar dari ruang UKS.
Aiza menghembuskan nafasnya, akhirnya ia bisa bernafas kembali. Aiza menatap punggung lebar laki-laki itu dengan perasaannya yang masih berdebar.
Ia merasa tidak percaya, ia bisa melihat laki-laki itu dari dekat bahkan laki-laki itu berbicara dengannya. Ternyata ia satu sekolah dengan laki-laki yang selama ini ia kagumi.
Aiza menutupi wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Aiza merasa banyak kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
RADJAZA [ On Going ]
Teen FictionBagi Aiza ketika mengagumi seseorang cukup dengan melihatnya dari jauh. Cukup melihatnya baik-baik saja, bernafas dan hidup dengan baik. Tidak perlu berupaya untuk mendekatinya, cukup sadar diri karena sudah terlihat jelas tembok yang terbentang tin...