"Setiap pertemuan, akan ada perpisahan."
Happy Reading
Naraya melihat seseorang didepannya yang terbaring kaku dengan kain yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Pandangannya kosong, seolah tak percaya, baru kemarin bercanda gurau ia sudah di tinggal adik perempuannya, yang dimana mereka telah tumbuh bersama dan menjadikan tempat cerita satu sama lain.
"Nay?" Panggil seseorang mengusap bahu gadis itu.
"Mau liat?" Ucap orang itu.
"Tan.. bilang sama Naya, kalau ini bukan Kana!" Suara pelan gadis itu bergetar pedih.
"Nay..." Panggil orang itu lagi menenangkan.
"JAWAB AKU TANTE.... BILANG KALAU INI BUKAN KANAYA! BILANG TANTE!" teriak Naya emosi.
"Nay... Udah!" Wanita itu turut menangis sambil memeluk keponakannya itu.
"Bilang sama aku Tante, kalau ini bukan Kanaya, Kana masih dirumah nenek, iya kan Tante?" Suara pelannya terdengar memilukan bagi siapa yang mendengarnya, bahkan hampir seluruh orang yang berada di sana turut berduka dan menangis.
Kanaya Aurelia, gadis cantik yang berusia 15 tahun, anak ketiga dari pasangan Lenggara dan Mayumi. Telah berpulang akibat kecelakaan.
Naya duduk di tepi ranjang tempat tidurnya. Menatap sebuah bingkai foto Kanaya yang tersenyum manis disana.
"Kenapa pergi? Kamu udah capek sama dunia ini? Maafin aku, ini semua salah aku, seandainya aku gak maksa kamu buat sekolah di tempat nenek, mungkin ini gak bakal terjadi."
"Kan, coba deh kamu liat, semua orang sayang kamu, ayah, bunda, semua orang Kan, mereka gak ikhlas kamu pergi, mereka semua sayang kamu. Kalau bisa, aku mau gantiin posisi kamu, asalkan kamu bangun."
Gadis itu terus mengoceh tidak jelas.
"Kan, cape nangis, kalau aku tidur dan berharap ini mimpi boleh gak?"
Naya memposisikan dirinya berbaring sambil memeluk bingkai foto itu.
"Aku harap cuma mimpi."
Memang hari sudah menunjukan pukul 10 malam, Naraya sudah menangis seharian ini.
Malam menjelang subuh, terdengar suara adzan berkumandang. Lagi dan lagi, air mata tanpa permisi mengalir begitu saja. Dengan gontai ia bangun dan berjalan menuju kamar di mana Kana berada.
Gadis itu terisak pelan, ini bukan mimpi, ini nyata, lihat Kanaya masih terbaring kaku di balik kain.
Naya membuka penutup kain itu. Dengan perasaan campur aduk, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Kanaya, suhu dingin yang pertama ia rasakan.
"Kan... Sesak!" Adunya.
"Bangun..."
"Kanaya, bangun." Gadis itu terus terisak di samping Kanaya.
Abrian, abang kandung kedua gadis itu, menatap sendu Naraya yang terisak.
"Kita sholat yuk?" Ajaknya dengan suara pelan.
"Bang.... Ini mimpikan? Tolong bangunin Naya, Naya gak mau di mimpi ini." Sesak sekali rasanya, seperti di himpit sesuatu.
"Nay... Belajar ikhlas ya! Ayo kita sholat dulu." Abrian menutup kembali kain itu, dan membantu Naraya berdiri.
Dengan air mata yang terus mengalir, gadis itu mengambil air wudhu, dan sholat dengan keadaan menangis. Di setiap sujud selalu berdoa kalau ini 'cuma mimpi'.
***
Proses pengemasan jenazah berjalan lancar, pihak keluarga di beri kesempatan untuk mencium Kanaya untuk terakhir kalinya. Bunda, ayah dan abang sudah terlebih dahulu, Naraya mengecup kening nan dingin itu, air mata sudah tak mengalir, kini Naraya tersenyum melihat wajah damai saudarinya. Sangat damai, Kanaya tersenyum.