PENGGALAN lagu Viktoria memotong musik klasik yang tengah mengalun melalui headset, tak lupa dengan getaran yang khas. Ponselku sedang memberitahu bahwa ada seseorang yang mencoba menelepon. Dengan kepala masih terbaring di meja dan kemalasan total, aku mengangkat benda itu, melihat nama Timothy Vasily di layar.
"Apa kabar, Adik Kecil?" Suara Tim nyaris diredam oleh keributan kelas. Kueratkan kedua headset dan mengeraskan volume suara. "Wah, ini baru jam sebelas tapi kau mengangkat teleponku. Sepertinya kelasmu kacau."
"Kau mau apa?" tanyaku.
"Santai, dong. Kau tidak tanya bagaimana kabarku? Aku baik. Apakah aku turun dari pesawat dengan utuh? Cukup utuh. Apa aku bawa oleh-oleh? Tentu―"
Ocehan Tim tidak membantu kondisiku lebih baik, jadi aku tak punya pilihan selain memutus sambungan atau kepalaku akan meledak sebentar lagi. Sebagai jaga-jaga apabila suara Viktoria kembali merusak playlist laguku, aku juga mengaktifkan mode pesawat. Nah, Timothy, maaf karena tidak sopan padamu, tapi awas saja kalau kau nekat menelepon lagi. Kita punya waktu untuk membicarakan kepulanganmu dari dinas di Heredith sore nanti.
Namun, sebuah pesan masih sempat masuk ke notifikasi. Kalau saja pengirimnya Timothy atau orang selain Dokter Damian, aku takkan peduli. Dan, pesan di dalamnya pun menarik.
MELARIKAN DIRI.
1001: Daniel Kenneth
Remaja (± 19 tahun), tubuh kurus, kacamata hitam.
DAMIAN: Halo, Nak.
DAMIAN: Apakah kau kosong sekarang? Desdemona membutuhkan bantuanmu.
Aku menyeringai di hadapan layar handphone. Akhirnya. Tiket kebebasanku dari sekolah telah tiba. Para Orang Suci memberkati hari ini rupanya.
Aku segera kembali menelepon Tim, seakan-akan lupa kejadian dua menit yang lalu. "Hai, Kak, bisa pinjam tumpangan?"
***
Desdemona yang diagung-agungkan Jake sebagai pemegang trofi tempat-terburuk-di-dunia nyatanya adalah hal yang sebaliknya untukku. Itu tempat yang membuatku memiliki suatu perbedaan mencolok dari kebanyakan remaja.
Sejak kakakku masuk penjara dan ibuku mendekam di rumah sakit jiwa, Doker Damian Vasily dan keluarganya menjadi waliku. Alih-alih bekerja di rumah sakit Greta, dia malah seorang kepala dokter di Desdemona. Yang menurutku luar biasa adalah tak ada satu orang pun yang tahu di sekolah ini, kecuali, tentu saja, guruku tersayang Mrs. Hera dan beberapa lainnya. Bayangkan, para brengsek SMA itu sibuk mencari-cari monster untuk dijadikan korban, tapi mulut mereka bak ember bocor yang isinya mengalir deras di depanku. Di depan anak yang bisa kapan saja melaporkan itu.
Apakah aku melakukannya? Yeah, kenapa tidak? Kira-kira aku bisa memotong setengah jam kerja para tim pencari Desdemona, dan mempermudah petugas kota untuk menemukan si monster. Semakin gila Jake, semakin banyak pencapaianku di Desdemona. Tunggu saja sampai aku memperbolehkan waliku untuk memasukkan profilnya ke kantor polisi.
Dan, ya, aku punya hak untuk melakukan itu.
Aku mengaitkan pin logo Desdemona di dada kiri jaketku dengan bangga, tak lupa tersenyum pada pantulan diri di cermin toilet. Aku berantakan, seperti biasa. Tetapi dengan pin itu, rasanya sepertiga dunia bisa saja langsung berada di bawah kakiku. Pin itu tanda bahwa aku salah satu anggota petugas Desdemona―rahasiaku yang bisa jadi pedang bermata dua di sekolah ini.
Setelah selesai mengganti seragam sekolah dengan pakaian baru, aku dan tasku segera meluncur ke parkiran di belakang. Di sana, terik matahari menyinari satu-satunya mobil merah yang terparkir sembarangan. Pengemudinya menjulurkan kepala dari jendela, berseru, "Kenapa kau begitu lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Side of Finale
FantasyDi Desdemona, tempat monster-monster penyintas perang diisolasi, Mayfair Celestine telah masuk jebakan para Dewan dan terseret ke permainan berbahaya yang mengancam stabilitas Frederasi Erata. Semua itu salah Daniel Braham. Seandainya dia tidak tert...