b a g i an - I

18 4 0
                                    

AKU berharap ini hari terakhir sekolah.

Orang lain menyebut tempat ini sekolah, tapi aku merasa seperti berada di perkumpulan orang-orang beraliran sesat. Bocah-bocah bandel sok dewasa saling pamer prestasi dengan puntung rokok dan adu bogem. Kadang ada juga yang cekikikan di pojokan, sembunyi-sembunyi, padahal telingaku masih terlalu sehat untuk mendengar semua yang terucap. Lalu orang-orang dewasa datang ke kelas dengan alasan mengajar, tapi sebetulnya mereka cuma mengutuk kami. Omongan mereka ada benarnya, tentu saja. Salahnya, mereka keterlaluan arogan sampai tak sadar sedang menista.

Ini bukan pertama kalinya aku berharap seperti itu. Terhitung sudah dua ratus tujuh puluh enam hari. Tentu saja itu jumlah yang kuhitung berdasarkan semua tulisanku di kolom kalender. Tetapi aku yakin, sebelum aku mulai menuliskan kalimat keluhan di kalender, aku sudah berharap ingin pergi dari sekolah.

Pertanyaannya, ke manakah aku harus mencari hidup jika tidak sekolah?

Bagaimana caraku bertahan hidup, sementara kini semua orang melihat angka rapor khususnya di kolom MATEMATIKA?

Aku  mengalihkan pikiran dengan membanting sebelah wajah ke meja, tidak terlalu keras sampai mengundang tatapan seisi kelas.
Ah, sial. Kepalaku terlalu jenuh. Sudah mulai ada anak yang meneriakkan slogan SMA kami dan bertepuk tangan keras, memekakkan telinga. Seolah-olah hanya dia yang bisa bertepuk tangan, gerutuku. Belum lagi ada bau harum-menjijikan, seperti percampuran parfum (yang katanya wangi buah) dan asap. Rasanya ada keinginan menempeleng siapa pun yang menebarkan bau khas preman itu.

Aku mulai melihat wajah-wajah yang tak pernah kutemui di dalam kelas. Pentolan dari bilik sebelah menyerbu satu per satu, entah dengan cara baik-baik nan gentle atau langsung menjeblak pintu dan menambah satu kebisingan lagi. Oh, bagus. Sekarang kenapa tidak sekalian saja seluruh guru di sekolah meninggalkan murid-muridnya bertindak barbar?

"Mampus!" seseorang berteriak dan tertawa-tawa. Itu Jake, si brengsek dari yang terbrengsek. "Kasih saja ke Desdemona malam ini."

"Nggak seru!" ujar yang lain.

"Kenapa? Bukannya bagus? Dia bilang dia ada di neraka, bukan? Kenapa kita tidak tunjukkan saja neraka yang sebetulnya itu ada di Desdemona sialan?"

Neraka. Dan Desdemona.

Neraka.

Desdemona.

Dua kata itu tidak asing dan tidak mengherankan jika digabung. Kalau bisa, aku akan berteriak menambahkan satu kata lagi: monster.

Si preman kelas menyetel sebuah video keras-keras. Sebetulnya, itu bukan masalah volume suaranya yang terlalu keras, tapi akulah yang duduk kelewat dekat dengan mereka. Suara-suara sesuatu sedang digebuk keluar dari video itu, dan aku yakin tak ada anak cengeng yang berani memelototinya dan tertawa-tawa seperti Jake.

Preman itu sudah sering melancarkan jurus-jurus mautnya pada anak-anak di kota. Jangan tertipu jika dia dan kacungnya sedang tersenyum dan memamerkan jokes yang tak hanya dapat membuat dirinya seorang tertawa. Ketika kau melihat perkumpulan anak-anak yang berdandan liar, menaikkan dagu, dan berkata-kata kasar, maka jangan berekspektasi bahwa tangan mereka tidak kotor dari darah dan asap. Coba tanyakan pada anak-anakmu, wahai orang-orang dewasa sok bijak, apakah mereka pernah dijadikan mainan Jake atau malah ikut-ikutan menjadi kaki-tangannya? Aku tahu tingkah-tingkah Jake, tapi aku tak tahu mana yang lebih baik dari kedua opsi tersebut.

Teman-teman Jake tertawa ketika korban di video merintih dan menangis. Gumaman parau dan memelas terdengar seperti orang yang kepingin mati, walau dia berkata hendak diselamatkan. Dan variasi kalimat dengan kata "neraka" muncul.

"Hari ini jebloskan saja ke Desdemona," kata Jake. Dia menutup video dan menggebrak meja. "Lalu kau, Art, besok carikan lagi mainan baru."

"Anak SMA sebelah? Atau monster?"

"Apa saja, pokoknya yang juga bandel dan nakal seperti kita."

Sungguh, dari segala kebisingan yang berputar-putar di ruangan pengap ini, aku paling jijik dengan pembicaraan itu. Heran juga kenapa aku masih bertahan di bangkuku dan menunggu Sir Emmett datang.

Di sekolah ini, tidak ada tempat untuk berlari. Kami tak punya balkon atau rooftop atau gudang yang aman dari kejaran CCTV. Aku selalu mengeluh bahwa sekolah ini terlalu sempit, sampai-sampai satu-satunya opsi yang paling tidak memalukan adalah berdiam diri di kelas dengan harapan ada keajaiban yang melenyapkan semua anak di sini. Hari ini pun sama.

Esok juga akan sama.

Selama apa pun aku mengeluh, aku takkan pernah bisa lari dari posisiku. Tak ada teman. Menyendiri. Mendengarkan anak-anak berceloteh tentang kejahatan.

Aku berharap sesuatu terjadi.

Pengumuman. Guru. Gempa. Apokalips.

Apa pun.

Apa saja yang dapat mengakhiri sekolah sekarang.

Apa saja yang dapat mengakhiri sekolah sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Other Side of FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang