PROLOG

4 1 0
                                    

[1 Oktober 2024]

o-o-o

Ribuan butiran pasir tersapu oleh deburan ombak yang merambat ke bibir pantai. Angin laut seolah berdamai dengan keadaan kali ini, ia hanya berhembus dengan pelan dan sama sekali tidak kencang. Burung-burung camar beterbangan disekitar pantai untuk sekedar berjalan-jalan dipinggir pantai atau bahkan memakan hewan-hewan kecil yang sekiranya dapat mereka makan. Langit seolah turut andil untuk memberi keindahan meski tanpa kehadiran awan sedikitpun.

Suara ombak yang berdesir memenuhi indra pendengaran seorang gadis yang kini sudah bangun dari tidurnya. Ia mengerjap pelan, seingatnya tadi ia sedang berada di jalanan sambil membawa motor vespa berwarna biru muda kesayangannya. Dengan badan yang anehnya terasa nyeri, ia mengusahakan untuk duduk dan mengamati sekitarnya. Pemandangan laut di hadapannya dengan matahari yang sebentar lagi akan pergi untuk bertukar peran dengan bulan membuatnya terkesima.

Senja, suatu hal yang akan selalu ia sukai dan mengingatkannya pada seseorang. Ia memejamkan matanya, mencoba menikmati semua ini pada kerinduan yang mendalam. Berharap bayang-bayang sosok itu muncul kembali dan menari-nari di hadapannya ketika ia sedang memejamkan mata.

“Kangen…” gumamnya pelan.

“Kangen aku, ya?”

Suara itu, suara yang sudah tidak pernah ia dengar lagi sejak enam bulan terakhir. Dengan cepat, ia membuka matanya dan menoleh ke arah samping. Sosok laki-laki yang selalu ia sayangi, selalu ia rindukan, selalu ia pikirkan, kini berada di sampingnya. Matanya mulai mengeluarkan bening air yang siap tumpah kapan saja. Tangannya terulur untuk menangkup wajah lelaki itu.

“Kamu… Disini?”

Dengan senyumnya yang selalu membuat gadis itu tenang, ia mengangguk. Lengkap dengan kedua lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya saat tersenyum. Bak berkaca pada dirinya sendiri namun versi laki-laki. Laki-laki itu pun membuka kedua tangannya lebar-lebar dan membawa sang gadis masuk ke pelukannya.

“Jangan pergi.” lirih gadis itu lalu sesenggukan.

“Maaf.” Dengan lembut tangannya mengelus surai gadis di pelukannya. “Jangan lama-lama sedihnya, Inai.”

Gadis yang dipanggilnya dengan sebutan “Inai” itu menggeleng pelan. Mencoba berbicara sambil menghentikan tangisannya. “Makanya kamu jangan pergi, Ivan.” cicitnya pelan.

Terdengar helaan napas dari lelaki bernama Ivan itu. Perlahan tapi pasti, ia menguraikan pelukannya dengan Inai. Awalnya, gadis itu tampak masih mengeratkan pelukannya pada Ivan, tapi akhirnya ia melepaskannya. Ivan mengusap bekas air mata di wajah Inai, wajah seseorang yang tak pernah mau ia lupakan. Lagipula, bagaimana caranya melupakan Inai jika ketika ia berkaca saja langsung teringat pada gadis itu?

Maaf sekarang waktuku nggak banyak, Inai.”

Inai menunduk, tangannya bermain pada dress selutut yang ternyata sudah terpakai sejak ia berada di pantai. Ivan menggenggam jemari Inai dan meminta gadis itu untuk bersitatap dengannya. Sedikit ragu-ragu, wajah Inai perlahan terangkat. “Aku tau kamu marah sama keadaan-keadaan yang muncul di hidup kamu sekarang. Terlebih keadaan hubungan kamu sama seseorang.”

Wajah gadis itu berubah bingung. “Kamu tau? Kok bisa?"

Aku selalu tau karena aku selalu pantau kamu, meski sekarang nggak bisa secara langsung lagi.” ucap Ivan sambil tersenyum teduh. Ia kembali melanjutkan.

Percaya sama dia ya, Inai? Memang semuanya nggak akan mudah dan nggak akan terjadi secara mulus-mulus aja. Tapi kamu jangan pergi dari dia lagi, ya?”

“Dia jahat, Ivan. Aku benci dia.” ungkap Inai tegas. Ivan justru menggeleng. “Nggak, Inai. Dia sebenarnya nggak kayak gitu. Percaya sama aku, ya?”

“Kenapa– IVAN!”

Ivan memilih tidak menjawab sampai tubuhnya perlahan menghilang. Inai sibuk untuk meraih tubuh Ivan yang sudah tidak bisa di sentuh lagi. Lelaki itu hanya tersenyum pada Inai dan melambai. “Aku percaya dia bisa bantu aku untuk jaga kamu. Kamu juga tolong percaya dia, ya?”

Gadis itu menggeleng cepat. Ia menunduk dan kembali sesenggukan. “Nggak, Ivan… Nggak. Aku nggak bisa…” lirihnya dengan napas yang tersengal. Ia sudah terlalu banyak menangis. Tangannya mengepal kuat sembari memukul pantai berpasir disekitarnya beberapa kali.

Air matanya terus menetes pada pasir pantai. Ia benar-benar merasa sangat kehilangan. “Kalau kamu pergi…”

“Bawa aku pergi sama kamu, Ivan.” 

Tiba-tiba, ditempat tenggelamnya matahari muncul sebuah cahaya berwarna putih yang begitu menyilaukan mata. Tangisannya seketika terhenti dan Inai mencoba untuk melihat ke arah cahaya itu yang sekarang berjarak beberapa meter dihadapannya. Rasa penasaran yang membuncah seketika digantikan oleh rasa takut yang kentara. Ia takut apabila cahaya ini justru mendatangkan malapetaka baginya.

Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilnya dengan lirih dari balik cahaya itu. Inai bangkit, perlahan berjalan menuju cahaya putih tersebut sambil tetap mempertahankan lengannya didepan mata untuk mempermudah penglihatannya yang sensitif terhadap cahaya. Dengan pasti ia melangkah memasuki cahaya putih tersebut dan ia menghilang dibalik cahaya, bersamaan dengan suara Ivan yang memenuhi gendang telinganya.

“Kamu harus kembali, Inai. Jangan ikut aku dulu.”

[To Be Continued]

o-o-o

Hi, ini adalah bagian dari draft cerita kesekian yang baru aku publish. Hope u like it! Terimakasii suda dibaca🥰🥰 Doakan saja semoga konsisten buat aplot aplot chapter selanjutnya! See u👋🏻

-zahwaaii_

MEANT TO BETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang