Satu setengah tahun sebelum pertemuan.
Tepukan di bahunya terasa cukup. Walau tak mampu membasuh lukanya. Ghaisan menatap sendu pusaran di hadapannya. Lebih kepada merasa belum siap jika harus berpisah dengan sosok yang selama ini mengayominya, mendidiknya, menyayangi Ghaisan hingga di usia yang genap sembilan belas tahun ini. Rasa-rasanya, Ghaisan memang tidak akan pernah siap jika harus berpisah dengannya. Pemuda itu mengusap air matanya yang turun. Sehancur ini perasaanya saat ditinggalkan Papa. Tapi, Ghaisan sadar betul. Satu-satunya yang berarti untuk Papa adalah doa yang tak pernah henti.
Cukup sadar diri dia pun. Tak mungkin berlarut dalam duka mendalam. Di saat ada Ibu, Ghania, juga Ghazean. Ghaisan boleh bersedih hati. Dia boleh merasakan hancur juga patah. Tapi, sesuai pesan Papa rahimahullah— Dehandar Ibrahim Rafardhan. Ghaisan tidak mau terpuruk yang sampai menjadikan dirinya putus asa.
"Mau pulang sekarang?" tanya temannya yang cukup setia menemani Ghaisan di saat-saat seperti ini. Namanya Razan. Teman kuliahnya Ghaisan. Sebenarnya ada banyak teman Ghaisan. Tapi, qadarullaahu mereka semua sedang diharuskan untuk menghadiri acara yang tidak bisa diwakilkan. Alhasil, Razan yang datang pertama untuk menemani Ghaisan. Di saat-saat seperti ini, sebagai seorang yatim piatu. Razan tahu betul seperti apa rasanya.
"Ya nggak mungkin tahun depan 'kan, Zan?" Razan tertawa kecil. Namun tak urung tetap mengusap air matanya yang mengalir. Merasa turut berempati terhadap kondisi Ghaisan saat ini. Apalagi, dari yang Razan tahu. Ghaisan itu sangat amat dekat dengan mendiang Papanya rahimahullah. "Santuy mah gue. Hari ini temanya emang nangis. Jadi, bukan berarti gue sehancur itu cuma karena full nangis."
"Untung ketutup kacamata item, jadi gak ada yang tau kalau mata lo bengkak sebelah, San." Ghaisan memukul bahu Razan dengan pukulan yang tidak seberapa. Ghaisan juga Razan menjadi pelayat terakhir yang bertahan di pemakaman hingga hujan reda. Bajunya Ghaisan yang sempat basah sampai menjadi kering karena menolak saat Razan berusaha memberikan peneduhan lewat payung besar yang dibawanya. Kurang lebih selama satu jam Ghaisan bersimpuh, ia tak henti-henti melantunkan doa untuk sang Papa yang telah meninggalkan dirinya. Ghaisan yang malang, di hari ketujuh sebagai seorang Mahasiswa Universitas ternama, dengan beasiswa full hingga semester delapan sesuai harapan Papa. Ghaisan melanjutkan profesi Papanya. Meski sudah diwarisi banyak ilmu pengetahuan. Cara formal ini harus ia tempuh untuk mendapatkan gelar tersertifikasi.
Ghaisan sudah melakukan semuanya sesuai harapan Papa, walau dari kalangan anak berada. Ghaisan tidak memanfaatkan kekayaan Papa hingga menjadikan dirinya mau terima beres saja. Bahkan dalam wasiatnya, Papa menegaskan bahwa Ghaisan baru bisa mendapatkan hak warisnya ketika telah memasuki usia dua puluh satu tahun. Sama halnya dengan Ghazean. Pengecualian untuk Ghania, dia sudah diperkenankan mendapatkan bagian hak warisnya dengan catatan di bawah pengelolaan Ibu mereka. Kendati Ghania si hemat itu, Ghaisan yakin. Adiknya itu tidak akan berlaku melebihi batas. Seperti biasanya, Ghania pasti hanya akan serba secukupnya.
"Woy! Gue manggil lo, gak denger apa gimana?" Seruan itu membuat Ghaisan mengerjapkan matanya terkejut. "Ayo dah cepet balik, sakit ntar lo!" ajak Razan.
"Iya-iya!"
Ghaisan belum cukup siap untuk pulang ke rumah sebenarnya. Dia belum merasa siap untuk melihat Ibu juga kedua adiknya. Bahkan Ghazean ... Adiknya itu menangis sangat histeris karena memang sedang di fase begitu dekat dengan Papa di usianya yang sudah 14 tahun itu. Meski sudah menjadi remaja, Ghazean tidak gengsi menunjukkan kesedihannya. Makanya dia sempat pingsan juga.
Satu hal yang membuat Ghaisan khawatir, tentang Ibu yang begitu tenang dalam melepaskan kepergian Papa dan hanya menangis dalam diam. Di saat Ghaisan tahu, bahwa Ibu mencintai Papa dengan begitu hebatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finally You Found Me
ChickLitHayyin Rahniza hanya seorang penyintas gangguan jiwa. Harapan hidupnya sangat rendah, sama seperti harga dirinya yang turut merosot. Hayyin menjadi korban bullying yang membuatnya trauma. Kendati demikian, Bunda tidak pernah mau mendengarkan keluha...