"Maaf ya, han, aku belum bisa pulang sekarang. Ini masih ada gladi kotor, baru nanti gladi bersih, mungkin jam sepuluh-an aku baru bisa pulang." Shena menghidupkan speaker lalu meletakkan ponselnya di meja, sementara tangan kanannya sudah kembali sibuk dengan mousepad laptop.
Terdengar suara di seberang yang kemudian kembali ia jawab. "Sudah makan kok."
Shena berusaha agar suaranya terdengar se-normal mungkin, tapi ia sendiri benar-benar sudah lelah berpura-pura. Mendengar perhatian dari Haana hanya membuat ia semakin kacau.
"Sudah dulu ya, aku ngedit dulu. Dadah." Ia memutuskan sambungan.
Ashena Putri benar-benar kembali tenggelam dalam laptopnya sesaat setelah menutup telepon. Ia benar-benar butuh sendirian hari ini dan ide untuk pulang adalah hal terburuk yang bisa ia bayangkan. Ia tidak ingin membuat keluarganya khawatir hanya karena melihat penampilannya yang sangat berantakan. Mata bengkak, muka kusut, pilek, atau ciri-ciri lain yang bisa ditunjukkan oleh tubuh milik seseorang yang baru selesai menangis selama dua jam.
Oh, entah apa ia benar-benar sudah selesai menangis atau belum.
Sejak subuh tadi ia sudah berangkat ke sekolah, tapi bukan untuk masuk kelas dan belajar. Shena sudah selesai sekolah dan kini ia hanya perlu menunggu hasil seleksi perguruan tinggi negeri-nya. Besok ada acara puncak ulang tahun sekolah—yang sebelumnya sudah didahului dengan berbagai pertandingan serta perlombaan—dan Shena adalah panitia divisi patroli keamanan sekolah.
Seharusnya ia tidak lagi boleh terlibat, tapi ia perlu kesibukan ini. Setidaknya ia harus mengalihkan pikirnannya sejenak, sebelum kembali fokus pada masalah yang sebenarnya. Ia terlalu payah untuk menghadapi semuanya dalam kondisi seperti ni.
Sayangnya, kesibukan tidak begitu berhasil membantunya. Well, iya tahu melarikan diri bukan hal yang tepat, ia juga tahu kalau ia kekanak-kanakan, tapi, sekali lagi, saat ini ia butuh itu. Seharian ia memohon agar semua keadaan mengerti perasaannya, tapi sayangnya itu juga tidak berhasil.
Walaupun sudah berkutat bolak-balik rapat dengan divisi acara, koordinasi dengan tim keamanan, ikut terlibat dengan kesibukan tim perlengkapan, ia berakhir menangis di kursi teratas tribun penonton. Ashena tidak setegar itu.
Kembali Shena mengubah layout titik penjagaan gedung acara. Menambah dan mengurangi jumlah personel di tiap titik, berulang kali, hingga tidak sadar bahwa sebenarnya ia tidak mengubah master plan -nya sama sekali. Denah dan layout baru itu sama saja seperti yang awal.
Shena mendesah keras, ia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Ia harus menghadapi semuanya dan kembali menata ulang rencana hidupnya.
Ia bangun dan berdiri tegak, menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya.
Dengan satu gerakan cepat ia mengecek ulang kelengkapan semua file yang ia butuhkan dan beberapa menit kemudian semuanya selesai. Ia bergegas mengumpulkan barang-barang, memasukannya ke dalam ransel kemudian keluar dari ruang ganti itu. Iya, sedari tadi ia duduk disana mengurung diri, khawatir ia mempermalukan dirinya sendiri dengan penampilannya.
Shena bergegas melewati koridor ruang ganti yang remang-remang. Langkahnya cepat dan ia menatap lurus kedepan. Koridor itu cukup panjang hingga ia merasa sedang berjalan menuju sumber cahaya yang terang benderang di lapangan utama. Ia sudah merasa lebih baik walaupun pikirannya masih kosong, melayang tak berpusat.
Shena sudah sampai di ujung koridor, beberapa langkah lagi ia sudah sampai di lapangan utama, tapi sebuah suara membuat ia menoleh, mencari.
"Shen, dicari Robby."
KAMU SEDANG MEMBACA
saradivati
ChickLitKalau mendewasa jadi jalan yang dipilih semua orang untuk bisa terus melanjutkan hidup, rasanya Shena mau putar balik saja. Atau berhenti.