Can I? (FreZee)

586 116 17
                                    

Hari sabtu sore yang tenang, diiringi dengan hujan yang cukup lebat dan angin yang berhembus kencang. Zee menatap jauh ke luar jendela kamarnya, ia memperhatikan tetesan hujan yang perlahan jatuh dan menyatu di permukaan kaca. Setiap tetes membentuk jejak yang bergerak pelan, mengikuti gravitasi, namun seolah meniru alur pikirannya yang sedang tak karuan. Hujan selalu membuatnya perlahan-lahan membuat hatinya terasa linu, dan sore ini, perasaan itu terasa lebih dalam dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang ia coba untuk abaikan. Ia rindu kedamaian dan ketenangan apabila hujan datang.

Ia mulai mengambil hoodie dan mengenakannya, mencoba mencari kehangatan, meski bukan karena udara dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Di luar, suasana terasa sepi, tak ada suara orang beraktifitas, hanya ada suara gemuruh air yang menabrak atap rumah dan hembusan pohon yang terbawa angin. Suara hujan yang menimpa atap dan kaca jendela menjadi latar belakang yang monoton untuk malam minggu ini, namun anehnya menenangkan, sekaligus membawa kenangan yang tak ingin ia hadapi.

Zee menarik nafas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain, tapi bayangan itu terus menghampirinya. Seolah seperti perkokok yang sudah kecanduan. Wajahnya yang dulu sering ia lihat setiap hari kini hanya hadir dalam ingatannya, meski sudah berbulan-bulan berlalu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini adalah keputusan yang benar, bahwa ia telah memilih jalan yang lebih baik. Tapi mengapa perasaan ini tak kunjung hilang? Mengapa setiap tetesan hujan selalu mengingatkannya pada sesuatu yang telah ia tinggalkan?

Matanya perlahan terpejam, namun pemandangan di balik kelopak matanya justru semakin jelas. Suara tawa yang akrab, percakapan hangat di malam-malam panjang, momen-momen kecil yang dulu tampak biasa saja kini terasa begitu berharga baginya. Dan di tengah semua itu, senyum yang tak pernah pudar dari ingatannya, senyum yang selalu menjadi obatnya. Zee menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang tiba-tiba terasa menghimpit dadanya.

Tiga bulan sebelumnya, Zee masih bisa mengingat dengan jelas saat ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ferrel, pacarnya yang sudah berjalan 2 tahun dan calon tunangannya. Ferrel sedang berada di rumah Zee, tempat biasa mereka bertemu. Hubungan mereka memang backstreet, tak pernah diketahui oleh siapa pun kecuali mereka berdua, masing-masing keluarga, dan sahabat-sahabat Zee. Zee selalu berdalih bahwa ia tak ingin kehidupan pribadinya terlalu terekspos. Padahal sebenarnya, Zee malu. Ferrel tidak tampan, tidak kaya, dan hanya punya satu motor matic tua yang sudah memiliki banyak problem. Tidak ada yang bisa ia banggakan dari Ferrel di depan teman-temannya.

"Rel, semakin ke sini aku semakin ngerasa kalau kita ga bisa lebih dari sekedar pacar" kata Zee pelan, tapi tegas.

Ferrel terkaget mendengarkan penegasan Zee, "hah? bukannya aku udah bilang kalo minggu depan bakal ngelamar kamu? dan....kamu setuju?"

"Makanya itu rel, aku gamau kita lebih jauh. Aku ngerasa berat buat ngelepas kamu, tapi dilubuk hatiku, aku juga ga bisa gini terus"

Ferrel mengernyitkan alisnya. "Kenapa? Apa ada yang salah? Kita juga udah sepakat kalau ada masalah diobrolin kan?"

Zee menghela napas, menundukkan kepalanya. "Gatau rel, tapi aku malah lebih ga yakin untuk hubungan kita, entah kenapa......aku udah ga ada perasaan cinta itu lagi"

Ferrel menatapnya dalam-dalam, mencari jawaban yang lebih jujur dari apa yang diucapkan bibir Zee. Tapi Zee terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Ferrel sebenarnya tau semua alasan pada akhirnya Zee memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

"Ok Zee, lagian dari awal aku juga ga pantes buat dapetin kamu, hehe. Aku harap kamu bisa bahagia sama pilihan kamu ke depannya ya. Terima kasih 2 tahun ini udah mau nerima aku" jawab Ferrel yang mengetahui bahwa semuanya tidak bisa ia paksakan, suaranya tetap tenang. Ia tak memaksa, tak mencoba mempertahankan. Hal yang aneh, karena selama ini Zee selalu berpikir bahwa Ferrel akan berjuang keras untuk tetap bersamanya. Tapi, mungkin Ferrel sudah lelah. Atau mungkin, ia tahu hubungan mereka sejak awal tidak seimbang.

One Shot or Just Short By CaramelWhere stories live. Discover now