Setumpuk berkas dilempar ke hadapan Diryo. Ia sedang melakukan pertemuan mendadak dengan Mardjo, si kepala polisi. Dengan tatapan bingung, Diryo meraih berkas-berkas itu dan membukanya satu persatu. Kedua mata tajamnya menegang membaca isi berkas tersebut, ia terus membaliknya dengan cepat, lantas menatap Mardjo.
Mardjo mengaitkan jari-jari tangannya sambil agak memajukan badan, "Detektif-detektif sebelumnya menyerah, Yo. Aku hanya bisa meminta tolong padamu." Mardjo menunduk, tampak hampir menyerah. Diryo mengusap wajahnya kasar, ia menutup berkas-berkas tadi.
"Apa yang sebenarnya timmu kerjakan selama ini, hah?" Diryo melempar berkas-berkas tersebut ke atas meja, kedua matanya memerah menahan emosi. "Ini kasus sejak 11 tahun lalu, Jo? Apa kau sedang main-main?"
Mardjo memijit pangkal hidungnya, "Kau benar, Yo, kasus ini tak pernah selesai sejak 11 tahun lalu." Mardjo menunduk, "tolonglah, aku tidak tahu lagi harus apa..." pria itu menghela napas dan menyeruput secangkir kopi yang tadi disediakan istri Diryo. Diryo berdecak.
Kasus yang dimaksud Mardjo adalah kasus penculikan anak dan wanita yang sampai saat ini tidak pernah menemukan titik terang, tapi korbannya terus bertambah banyak. Seolah terus memburu seisi warga kota dan menantang polisi. Meski sudah dilakukan patroli rutin, tetap saja tidak ada yang bisa menebak kapan dan dimana pelaku akan melakukan aksinya. Apalagi dengan sedikitnya saksi mata. Diryo mengeraskan rahangnya dan menggerak-gerakkan kaki, matanya terus menatap berkas-berkas.
"Baiklah, aku terima kasus ini, Jo." Diryo menghela napas usai mengumumkan keputusannya. Mardjo tersenyum dan menenggak kembali kopinya, "Terima kasih, Yo, kau memang bisa diandalkan. Hubungi aku jika kau perlu bantuan" Pria itu menepuk pelan bahu Diryo.
"Raidan, jangan lupa bekalmu!" terdengar suara Astuti, istri Diryo, disusul kemunculan anak laki-laki mereka yang berjalan melewati ruang tamu, hendak menuju pintu rumah. Tuti mengejar sang anak sambil membawakan kotak bekal.
Raidan berbalik dan tersenyum lembut pada ibunya sambil mendorong tangan ibunya yang menyerahkan kotak bekal, "Ibu...sudah kubilang tidak usah buatkan bekal lagi, aku bukan anak kecil." tolaknya pelan, ia menyalami tangan sang ibu kemudian menatap ke arah Diryo dan Mardjo. "Aku berangkat, Yah. Permisi, Om." pamitnya sambil sedikit membungkuk sebelum melangkah keluar rumah. Astuti masih mengikutinya, berusaha membujuk agar Raidan membawa bekal makanannya.
"Itu anakmu si Raidan, Yo? Sudah besar saja." timpal Mardjo sambil menyeruput kopinya hingga habis. Diryo mengangguk dan tertawa pelan.
"Ibu...aku sudah bilang tidak usah." Raidan masih direcoki ibunya perihal bekal saat ia sedang memasang sepatu.
"Ya ampun, Dan, memangnya kenapa, sih? Bawa saja ini bekal buatan ibu enak, kok." Tuti memaksa dengan nada memelas. Wanita paruh baya yang masih mengenakan celemek itu terus mengekori putranya bahkan hingga ke halaman rumah.
"Selamat pagi, Bu Tuti!" Dari luar pagar rumah, terlihat sosok lelaki seusia Raidan yang mengenakan seragam yang sama tengah berdiri menunggu. Ia tersenyum cerah sambil melambaikan tangan pada Tuti.
"Eh, Cak!" Raidan berseru semangat dan mempercepat langkahnya menuju pagar, Tuti pun turut bersamanya menghampiri lelaki itu. "Eh, Sanca, sudah menunggu lama, ya?" Wanita paruh baya itu tersenyum ramah menyapa Sanca yang merupakan karib putranya. Sanca segera menggeleng, "Nggak, Bu, baru sampai juga, kok."
"Ayo, Cak, berangkat! Kami pamit, Ibu." Raidan menepuk bahu Sanca dan berjalan lebih dulu. Sanca mengiakan dan menunduk sopan pada Tuti.
"Raidan, ini bekalnya tidak jadi kamu bawa?" Tuti menyodorkan kotak bekal di tangannya, tapi Raidan sengaja melangkah lebih cepat. Sanca memandang heran dan kembali menatap canggung pada Tuti yang tampak kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DRAFT] Toxic Menu
Mystery / Thrillerblablabla baca aja, buat numpang taro cerita