Bab 1; Patah hati

7.6K 362 0
                                    

Hujan turun perlahan di depan kafe kecil tempat Rion berdiri. Suara lalu lintas yang biasanya ia abaikan kini terasa semakin jauh, tenggelam dalam kekacauan emosinya. Dalam genggamannya, ponsel masih menyala, menunjukkan pesan terakhir yang dia terima dari mantan kekasihnya.

"Maaf Ri, sebenarnya aku selingkuh sama Kevin, dan aku sedang hamil anak dia sekarang, thanks for everything, you're a good man. Ini semua salahku, maaf."
[Nomor anda telah di blokir]

Nama itu menusuk dada Rion. Kevin, teman dari kelas yang sama, orang yang sering mereka ajak nongkrong bersama. Bagaimana bisa dia begitu buta? Bagaimana bisa selama ini mereka begitu dekat, sementara dia hanya seorang yang ditinggalkan?

Rion merasakan kehancuran emosional yang sangat mendalam. Dia tidak hanya kehilangan seseorang yang ia cintai, tapi juga merasa dikhianati oleh dua orang sekaligus—mantan kekasihnya dan sahabat mereka.

Rion pergi ke tempat satu-satunya orang yang selalu bisa ia andalkan: Caine, sahabatnya. Caine adalah orang yang tenang, perhatian, dan selalu ada untuk Rion, bahkan ketika yang lain tidak. Rion pergi ke apartemen Caine tanpa memberitahunya lebih dulu, karena dia hanya ingin melarikan diri dari kesedihan.

Hujan masih turun meski sudah mulai mereda, meninggalkan genangan air di trotoar yang berkilau. Rion berdiri di depan pintu, jantungnya berdegup kencang. Dia merasa hancur dan bingung, tetapi juga ada rasa nyaman yang terlintas saat memikirkan Caine.

Rion menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Suaranya nyaris tidak terdengar, namun dia tahu Caine pasti akan mendengar. Beberapa detik terasa seperti selamanya, dan rasa gelisah mulai menyelimuti Rion.

"Apa gue udah benar-benar siap untuk ini?" pikirnya.

Ketika pintu dibuka, wajah Caine langsung terlihat, dan Rion bisa melihat keprihatinan mendalam dalam tatapan sahabatnya. Caine mengenakan kaos longgar dan celana pendek, rambutnya sedikit berantakan, seolah-olah dia baru saja bangun dari tidur. Namun, tatapan Caine yang hangat dan penuh kasih membuat Rion merasa sedikit tenang.

"Rion?" suara Caine lembut dan penuh perhatian. "Kenapa kamu datang tiba tiba? Di luar hujan, kamu bisa kena flu, Ri.. "

Rion tidak bisa menjawab. Suara Caine seolah membuka pintu bagi semua rasa sakit yang dia coba tahan. Bentuk kepedulian yang benar benar ia butuhkan saat ini sudah tersedia, membuat ember yang sudah penuh dengan air terasa ingin pecah. Di dalam dadanya, rasa sakit itu mulai meledak.

Tanpa berpikir panjang, Rion langsung melangkah maju dan terjun ke dalam pelukan Caine. Dia merasakan kehangatan tubuh Caine yang menyelimuti dirinya, seolah-olah dia kembali pulang setelah berhari-hari tersesat.

Caine segera merespons, memeluk Rion erat-erat, seolah ingin memastikan bahwa Rion tidak akan pergi lagi. Rion bisa merasakan ketenangan yang mengalir melalui pelukan itu, meskipun hati dan pikirannya masih penuh dengan kekacauan.

"Sshh... Udah udah.. semuanya bakalan baik baik aja.. " bisik Caine di telinga Rion, suaranya tenang dan menenangkan.

Rion merasa air mata mengalir di pipinya. Rasa sakit yang menyayat hati berbalut rasa aman dalam pelukan Caine membuatnya sulit bernapas.

"Caine... dia... dia selingkuh.. " suara Rion terputus-putus saat dia mulai menceritakan semua yang terjadi.

Caine tidak melepaskannya. Dia hanya mendengarkan, menunggu Rion untuk melanjutkan, memberikan kekuatan melalui keberadaannya yang stabil.

Rion memisahkan diri sedikit, menatap wajah Caine. Mata sahabatnya itu penuh perhatian dan ketulusan. Rion bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda saat dia menatap Caine, seolah ada kedalaman emosional yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

"Kamu enggak bodoh, Ri. Mereka yang salah. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari pada dia" Caine berkata dengan tegas, tetapi suaranya tetap lembut.

Rion mengangguk, tetapi hatinya masih terasa kosong. Dia bisa merasakan ketegangan yang tidak biasa saat dia kembali memandang Caine. "Tapi... Gimana kalo ga ada yang mencintai ku lebih lebih baik dari dia?"

Caine menggelengkan kepala, senyumnya tidak pudar. Dia meremas lembut bahu Rion, matanya seakan menembus jiwanya.

"Kamu sebut itu cinta? Bukan, Ri.. aku yakin kamu bakalan menemukan seseorang yang lebih baik. Kamu layak dicintai dengan sepenuh hati."

Rion merasakan hati kecilnya bergetar mendengar kata-kata itu, dan saat itu dia menyadari betapa banyaknya Caine berarti baginya.

"Terima kasih, Caine" Rion berbisik, namun ada lebih dari sekadar rasa terima kasih yang mengalir di antara mereka.

BL - obses with my besties [S1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang