4. Sejak Dulu

943 190 57
                                    

Malam itu di jam sepuluh, kala Danu tengah mengedit foto di ruang kerja, derit pintu tiba-tiba mengudara dan praktis memecahkan konsentrasinya. Kemudian ia temukan kepala Anjani menyembul di celahnya, cengengesan.  Danu mendengkus geli, diberikannya anggukan pada Anjani yang bertanya dirinya boleh masuk atau tidak. Rasa jenuh akibat seharian bertatap muka dengan layar laptop kontan menguap, digilas suara ceria Anjani yang mulai berceloteh tentang betapa seru drama Korea yang baru selesai ditontonnya. Pening yang melilit kepala Danu pun mendadak reda begitu lengan Anjani melingkar longgar di lehernya. Peluk Danu dari belakang. Anjani sudah jadi semacam obat yang sembuhkan Danu dari penatnya kewajiban cari nafkah.

"Cantik banget," bisik Anjani, merujuk pada sosok cantik di layar komputer. Anjani jadi cemburu, ke Danu yang berkesempatan mengabadikan rupa menawan itu lewat lensa kameranya. Anjani mau ketemu si cantik ini juga. "Siapa ini, Nu? Selebgram bukan?" Ia bertanya demikian mengingat model yang kerap diajak kerja sama oleh tim Danu adalah para selebgram dengan followers berjuta-juta. Kecantikannya tak perlu ditanya. Cakep-cakep banget.

"Dia model profesional."

"Pantes sorot matanya beda."

"Beda gimana?"

"Kayak ... dia naksir gue gak sih, Nu?"

"Naksir gue kali."

"Kalau iya, kasian banget, sih."

"Kasian kenapa?"

"Lo kayak beruk."

Danu mendengkus, lalu agak menoleh dan wangi mint langsung singgah di penciumannya. Berasal dari rambut Anjani. Segar. Danu suka. Danu jadi mengira-ngira, semisal ia cium pipi Anjani, kira-kira setelahnya mereka bakal canggung nggak, ya? "Tidur, Ja." Danu berakhir mengurungkan niat. Belum siap seluruh jenaka berubah kaku. Soalnya masih segar di ingatan Danu kejadian di kelas dua SMA dulu. Waktu itu kewarasannya kalah oleh rasa penasaran. Penasaran akan pipi Anjani yang merona. Satu kecup tak sampai dua detik yang membuatnya dan Anjani tak saling bicara sebulan.

"Lo masih lama, Nu?"

"Enggak, sih."

"Gue tungguin kalau gitu."

Danu meralat, "Lo gangguin kali ya maksudnya, Ja? Soalnya ini leher gue mulai pegel." Dusta. Danu sebenarnya pengin Anjani pergi dari belakangnya karena Danu takut nggak kuat nahan kepala untuk tetap menghadap depan. Isi kepalanya riuh banget, menyuruh Danu menoleh dan cium dalam-dalam pipi perempuan itu. Sayangnya, Danu tak pernah belajar dari pengalaman. Anjani disindir begitu bukannya peka, yang ada makin semangat menjahili. Danu refleks memejam dan meremat pegangan kursi ketika Anjani naik ke pahanya, sekonyong-konyong berikan pelukan. Anjani kini nemplok macam anak koala. Ini godaan banget, Demi Tuhan. Sambil menahan napas, Danu bilang, "Ayo tidur aja, Ja. Gue ngantuk."

Anjani menulikan telinga atas ajakan tersebut. "Cantikan gue apa dia, Nu?"

"Dia." Dijawab Danu, tanpa ragu.

Anjani mencebik. Dijewernya pelan kuping Danu. "Gue cantik apa jelek?"

"Jelek." Sekali lagi ia membalas tanpa dibayang-bayangi rasa ragu. Lantang. Padahal pada Mbak Ale, Danu pernah bilang, "Anjani difoto pake lensa paling jelek pun enggak akan kelihatan jelek."

"Minimal mikir dulu dua detik, Nu."

"Nggak perlu, soalnya gue udah sadar akan hal itu sejak pertama lihat lo, Ja."

"Kapan itu?"

"Sejak dalam kandungan."

Anjani mendengkus. "Ternyata hati lo udah busuk bahkan sejak masih zigot."

Danu terkekeh, tapi kemudian bawa tangannya memeluk punggung sang istri. Melembut suara lelaki itu kala mengatakan, "Kenapa, Ja?" Ia sadari perempuannya sedang tidak percaya diri. Namun, alih-alih balasan berupa kata, Danu malah merasakan Anjani menggeleng di bahunya. "Gue enggak punya kapasitas buat ngebaca isi hati orang lain, termasuk isi hati lo. Kalau gue clueless, gue gak tau harus bilang atau lakuin apa. Sekarang mau cerita atau mau dipeluk dulu aja?" tanyanya.

SweetliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang