Prakarta Pengarang

19 1 0
                                    

Sebagai seorang Muslim yang tumbuh dan dibesarkan dalam institusi Islam, saya mengalami langsung bagaimana umat sangat mengutamakan ketaatan terhadap aturan agama ketimbang penghayatan spiritual. Setelah menghabiskan masa sekolah di beberapa sekolah Islam, saya mendapati kebiasaan pemikiran konkret-langsung jadi-di kalangan umat. Mereka kurang mampu memahami pengalaman batin, yang saya duga terjadi akibat kebiasaan menyematkan atribut "perbuatan" daripada "pemikiran" terhadap kitab suci kami, Al-Quran. Setelah membaca dan mempelajari sejarah perkembangan pemikiran Islam selama kuliah hingga sekarang, kebiasaan pemikiran konkret ini merupakan buah dari perubahan besar dalam pemikiran Islam yang diawali oleh Al-Ghazali (1058-1111 M) dengan menekankan kepatuhan hukum (syariat) ketimbang pemikiran filosofis (tasawuf).

Meski pun Al-Ghazali memahami pentingnya tasawuf dalam memperdalam dimensi spiritual Islam yang ditunjukan dalam karyanya, Ihya Ulumuddin (The Revival of the Religious Sciences):

"The aim of knowledge is action, and the aim of action is the inner life." (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Ebrahim Moosa, 2007, hlm. 34),

dan menekankan bahwa hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa pengalaman batin yang mendalam, ia menempatkan filsafat sebagai pelengkap yang tidak boleh mempertanyakan dan mempertentangkan hukum (syariah). Seperti dalam karyanya yang monumental, Tahafut al-Falasifah  (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali mengkritik bahkan cenderung menolak konsep utama dari filsafat Yunani, yang pada masanya memiliki pengaruh besar terhadap teologi Islam, seperti konsep Kausa Prima dari Aristoteles. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat ini, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip metafisika dan rasionalitas murni, mengubah lanskap intelektual Islam dari era rasionalistik ke arah yang lebih legalistik dan mistik. Ia menulis:

"The connection between what is usually believed to be a cause and what is believed to be an effect is not a necessary connection." (Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Michael Marmura, 1997, hlm. 170).

Pendekatan ini berkontribusi pada pergeseran paradigma dalam pemikiran Islam, di mana elemen rasional lebih dikesampingkan untuk memberi ruang bagi pendekatan tekstual dan hukum (syariah). Pada akhirnya, meskipun Al-Ghazali tidak sepenuhnya menolak pemikiran filsafat, ia menyatakan bahwa fokus utama keimanan seharusnya tertuju pada kepatuhan terhadap praktik dan hukum (syariah), sehingga tasawuf harus tunduk pada hukum sebagai pelengkap saja.

Sampai tulisan ini dibuat, konsekuensi dari perubahan yang dilakukan Al-Ghazali terlihat jelas dalam pola pikir masyarakat Muslim yang lebih memprioritaskan kepatuhan pada aturan ketimbang pencarian makna yang lebih dalam. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai tujuan spiritual dan hubungan pribadi dengan Tuhan sering kali diabaikan, sehingga menimbulkan alienasi di kalangan mereka yang merasa terjebak dalam rutinitas keagamaan yang monoton. Seiring waktu, hasil dari perombakan pemikiran ini terlihat dalam cara umat berinteraksi dengan ajaran Islam, di mana penekanan pada hukum mengarah pada pengurangan pemahaman mengenai tasawuf, yang seharusnya menjadi jembatan untuk mencapai kedalaman spiritual.

Mungkin banyak dari kalian yang masih belum mengerti mengapa perubahan yang dibuat Al-Ghazali ini menjadi masalah, atau setidaknya membuat saya resah sehingga merasa perlu menuliskan ini. Bermula dari saya yang selalu bertanya-tanya perihal aturan-aturan agama yang harus saya jalani tanpa diperbolehkan menguji akar yang menjadikannya ada, saya menjadikan "Kenapa?" Sebagai teman akrab dalam masa-masa alienasi sekolah. Tanpa sadar saya membentuk diri menjadi pribadi yang "skeptic" karena tanya yang saya ajukan kepada umat dari berbagai kalangan perihal agama hampir selalu dijawab dengan tatapan aneh dan tak suka. Kalimat yang paling sering saya dapatkan adalah "Ibadah saja yang rajin, toh perintahnya dan hukumnya sudah jelas dalam Al-Quran". Sisanya mereka akan menekankan pada ayat Al-Quran dan Hadist tanpa pemaknaan mendalam. Dialog tidak berjalan, rasio tidak dipergunakan. Hingga ada masanya saya mematisurikan apa yang menjadi identitas saya dan menceburkan diri dalam kepura-puraan arus ketidaktahuan selama bertahun-tahun, karena tak tahan dengan alienasi yang saya alami.

Hingga akhirnya setahun terakhir ini saya hidupkan dan rangkul kembali "kenapa?" dan mulai berusaha memahami keadaan sekarang untuk melerainya sebagai refleksi pribadi.

Karena itu dalam tulisan ini, saya ingin merefleksikan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah saya benar-benar memahami hubungan pribadi dengan Tuhan dalam kerangka keagamaan yang ada? Jika saya menganggap diri sebagai makhluk yang diciptakan dengan tujuan untuk mengimani-Nya maka mengulik pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pemikiran dan makna spiritual tidak seharusnya membuat kita merasa terasing dari sang Pencipta. Karena hidup tidak hanya berputar pada kewajiban dan rutinitas kosong. Selalu ada ruang untuk pencarian yang lebih dalam, dan itu salah satu bentuk mengimani Allah STW juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seruan Pertama; Refleksi Tasawuf di Era PostmodernTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang