Dalam panjang nya perjalanan kehidupan, manusia senantiasa diborgol oleh naluri kemanusiaan yang mengakar. Naluri itu berbentuk rasa ingin ikut andil dalam kehidupan manusia yang lain. Keinginan ini tidak hanya tercermin dalam konteks sehari-hari, tetapi juga telah menjadi root dalam berbagai pemikiran panjang filosofis. Mahatma Gandhi dalam bukunya The Story of My Experiments with Truth mendedikasikan kehidupan itu sama pentingnya seperti melayani pengabdian yang tulus. Gandhi percaya bahwa melalui Madad, makna dan tujuan hidup yang sejati itu akan datang mendampingi.
The Art of Happiness, Dalai Lama menggambarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai tanpa menumbuhkan kasih sayang dan empati terhadap orang lain. Melalui tindakan saling membantu, kita bukan hanya memberikan manfaat kepada orang lain, tetapi juga memperkaya jiwa kita sendiri. Konsep ini sejalan dengan pandangan Martin Luther King Jr. dalam bukunya Where Do We Go from Here: Chaos or Community?, yang menegaskan bahwa kemanusiaan kita terikat satu sama lain, dan hanya melalui kerja sama dan kepedulian kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Namun, bagaimana jika saling membantu adalah kata kerja yang memiliki banyak masalah, yang akhirnya berujung siapa yang harus bantu siapa? Foucault dalam bukunya Discipline and Punish mengemukakan bahwa saling membantu seringkali terpengaruh oleh relasi kuasa. Ketika satu pihak merasa superior, ini bisa mengarah pada dinamika yang tidak sehat dalam hubungan bantuan atau bahwa dalam banyak kasus, orang atau kelompok yang ingin membantu tidak sepenuhnya memahami kebutuhan nyata penerima bantuan, yang bisa menyebabkan bantuan yang diberikan tidak efektif atau bahkan merugikan. Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis. Ia menyoroti ambiguitas dan absurditas dalam hubungan manusia. Camus berargumen bahwa dalam upaya saling membantu, seringkali terdapat benturan antara niat baik dan realitas yang rumit.
Bayangkan sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan biru nan tenang. Di pulau itu, tinggal sekelompok orang yang saling mengenal satu sama lain. Suatu ketika, bencana datang—ombak besar menggulung rumah-rumah mereka. Dalam kekacauan itu, mereka berusaha untuk saling membantu; satu orang membawa makanan, sementara yang lain membantu membangun kembali rumah yang hancur.Namun, seiring berjalannya waktu, ketegangan mulai muncul. Seorang pria merasa tertekan karena selalu menjadi yang pertama menawarkan bantuan, sementara tetangganya yang lain, merasa diabaikan karena setiap kali dia mencoba membantu, usahanya selalu dipandang remeh. Di sudut lain, tetangga paling jauhnya hanya bisa menyaksikan pekerjaan mereka dari ujung rumahnya nan jauh, merasakan ketidakberdayaan yang menyesakkan, seolah jari-jarinya terikat oleh ketakutan untuk terlibat lebih dalam dalam kegiatan masyarakat pulau.
Suatu malam, ketika bintang-bintang bersinar di langit yang kelam, mereka berkumpul untuk membahas masa depan pulau itu. Dalam keheningan, satu pertanyaan menggantung di udara: Apakah saling membantu masih mungkin jika rasa saling percaya telah mulai memudar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Bantu Siapa
Non-FictionSiapa yang perlu di bantu, oleh siapa yang membantu, dan apakah harus dibantu? Harus hidup di lingkaran yayasan kemanusiaan tapi tidak semuanya itu berupa manusia.