Perubahan

31 17 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari mulai merembes melalui tirai jendela apartemen Alia, mengisi ruangan dengan cahaya lembut. Racha terbangun dengan kepala yang berat dan tubuh yang terasa lemah. Ia membuka matanya perlahan, mencoba memahami di mana dia berada. Semua kejadian semalam mulai samar-samar kembali ke pikirannya, dan ia merasa jantungnya berdegup kencang ketika ingatan itu semakin jelas.

Racha menoleh dan melihat Alia duduk di kursi seberang sofa, memandangi dirinya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Tidak ada amarah di wajah Alia, tapi juga tidak ada kehangatan yang biasanya terlihat. Hanya ada rasa lelah dan kebingungan yang kentara.

“Apa kamu ingat apa yang terjadi semalam?” tanya Alia pelan, suaranya terkontrol tapi penuh beban.

Racha menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. "Aku... aku ingat sebagian." Ia menunduk, tak berani menatap Alia. “Aku minta maaf, Alia. Aku tidak seharusnya melakukan itu.”

Alia tetap diam sejenak sebelum menjawab. “Racha, aku nggak tahu harus berkata apa. Semalam kamu mengatakan hal-hal yang... aku tidak pernah menduga kamu rasakan.” Ia menunduk, bermain dengan ujung bajunya, terlihat sama bingungnya. “Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya.”

Racha merasakan rasa bersalah yang mendalam menghantamnya. "Aku benar-benar tidak tahu harus bilang apa, Al. Aku terlalu mabuk, dan... aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi rumit."

Alia mengangguk, tapi pandangannya tetap tajam. “Kamu bilang kamu mencintaiku, Racha. Itu bukan hal kecil yang bisa diabaikan begitu saja, meski kamu mabuk. Aku hanya ingin tahu—apa itu benar? Apa kamu benar-benar merasakan hal itu, atau itu hanya... akibat alkohol?”

Racha terdiam, tenggelam dalam pikirannya. Perasaannya terhadap Alia memang selalu rumit, namun ia selalu menekan emosi itu, tak pernah berani mengungkapkannya. Dan sekarang, semua itu keluar dengan cara yang salah.

“Alia... aku... aku memang memiliki perasaan itu,” jawab Racha akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi aku tidak pernah bermaksud untuk mengatakan atau melakukan apa pun. Aku tahu itu akan menghancurkan persahabatan kita.”

Alia menarik napas panjang, matanya terlihat lebih lembut namun tetap waspada. “Racha, aku sangat menghargai kejujuranmu, tapi kamu tahu ini tidak mudah buat aku, kan? Kamu sahabatku, dan aku selalu melihat kita sebagai teman baik. Aku nggak pernah berpikir kamu punya perasaan lebih dari itu.”

Racha hanya bisa mengangguk. “Aku paham. Dan aku tidak ingin merusak hubungan kita. Aku hanya... aku tidak tahu bagaimana mengatasi ini.”

Suasana di antara mereka terasa tegang, penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Alia berdiri perlahan, berjalan mendekati Racha, dan duduk di sebelahnya di sofa. “Kita butuh waktu untuk berpikir, Racha. Aku butuh waktu untuk memahami semua ini. Tapi yang pasti, aku nggak ingin kita kehilangan persahabatan kita.”

Racha menatap Alia dengan mata yang penuh rasa bersalah dan ketakutan. “Aku juga tidak mau kehilangan kamu, Al.”

Alia mengangguk pelan, lalu memeluk Racha dengan hangat, menenangkan sahabatnya yang masih diliputi kecemasan. “Kita akan melewati ini, Racha. Tapi kita harus bicara lebih lanjut setelah semua ini tenang.”

Dan di saat itu, meskipun masih ada ketidakpastian, ada secercah harapan bahwa mereka bisa menemukan jalan keluar dari kerumitan ini, bersama-sama.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Hari-hari berikutnya terasa aneh bagi Alia dan Racha. Mereka saling menghindari percakapan yang terlalu dalam, seolah takut menyentuh luka yang baru saja terbuka. Namun, keheningan itu tak bisa bertahan lama. Baik Alia maupun Racha tahu bahwa mereka perlu membicarakan apa yang terjadi dan memutuskan bagaimana melanjutkan hubungan mereka.

Di Antara Hujan dan SenyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang