Racha dan Alia duduk bareng di sofa, menikmati malam yang tenang. Racha menarik selimut untuk menutupi mereka, lalu genggam tangan Alia erat, senyum tipis terlukis di wajahnya.
“Kamu tau, Li…” Racha berkata pelan sambil menatapnya lembut. “Aku seneng banget bisa punya momen kaya gini sama kamu. Rasanya… tenang, hangat.”
Alia tersenyum balik, matanya penuh makna. “Aku juga, Cha. Kadang aku ngerasa kaya, dunia ini cuma milik kita berdua.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan sambil bersandar satu sama lain. Alia perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Racha, merasa damai dalam pelukan yang begitu nyaman.
Racha menatapnya sebentar, lalu berkata, “Eh, gimana kalau kita bikin teh terus duduk di balkon? Kayanya suasananya pas banget buat nyantai berdua.”
Alia tersenyum setuju. “Boleh banget. Ide bagus, Cha.”
Mereka berdua ke dapur, bercanda ringan sambil nunggu air panas. Obrolan kecil mereka diiringi tawa lembut, menikmati momen-momen sederhana yang justru terasa sangat berarti. Begitu tehnya siap, mereka berdua bawa cangkir masing-masing ke balkon, duduk bareng di bawah langit malam yang penuh bintang.
Sambil menyeruput teh hangat, mereka ngobrol panjang tentang mimpi, kenangan, dan harapan. Racha dan Alia saling berbagi cerita, tertawa bareng, dan kadang terdiam, membiarkan malam bicara. Di antara mereka, ada perasaan yang tenang, yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
“Terima kasih, Cha,” kata Alia pelan, suaranya bergetar lembut. “Terima kasih udah ada buat aku, buat bikin aku ngerasa… dicintai.”
Racha balas menatapnya, menggenggam tangannya lebih erat. “Aku akan selalu ada buat kamu, Li. Sampai kapan pun.”
Di bawah langit yang penuh bintang, mereka habiskan malam dalam keheningan yang damai, merasa bahwa mereka udah menemukan rumah – bukan tempat, tapi seseorang.
Setelah sekian lama berbagi cerita dan tertawa bersama, Racha menatap Alia dengan pandangan lembut, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Di tengah keheningan malam itu, Racha perlahan menarik tangan Alia, menggenggamnya dengan penuh perasaan.
“Li,” ucap Racha sambil menatap dalam matanya. “Kamu tau ngga? Aku dulu selalu berpikir cinta itu rumit, sulit dimengerti. Tapi sejak kamu datang, semuanya terasa lebih sederhana. Kaya semua pertanyaan hidup yang dulu rumit, tiba-tiba punya jawabannya sendiri.”
Alia tersenyum, terdiam menunggu Racha melanjutkan. Hatinya bergetar mendengar tiap kata yang keluar dari bibirnya.
“Cinta buat aku… adalah ketika aku tau kamu bahagia. Cinta adalah ketenangan, Li. Bukan tentang rasa posesif atau takut kehilangan, tapi rasa syukur, rasa percaya, dan pengertian. Aku ngerasa… bahagia banget hanya dengan ngelihat kamu tersenyum, atau cuma duduk di samping kamu begini,” kata Racha dengan suara pelan namun penuh makna.
Alia mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku ngerasa aman sama kamu, Cha. Kaya semua masalah jadi ngga terlalu berat kalau kamu ada di sampingku.”
Racha mengusap lembut pipi Alia, menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Kalau cinta itu tempat, aku mau jadi rumah buat kamu. Tempat yang selalu siap menampung semua ceritamu, tempat kamu bisa pulang kapan saja, tanpa takut dihakimi, tanpa ragu.”
Malam semakin larut, namun waktu seakan berhenti bagi mereka berdua. Racha melanjutkan dengan suara pelan, hampir berbisik, “Aku tau mungkin hidup ngga selalu sempurna. Akan ada hari-hari yang berat, ada saat-saat kamu merasa sendiri atau jatuh. Tapi aku janji, Li, aku akan selalu jadi orang yang memegang tangan kamu, jadi teman yang selalu ada, bahkan ketika dunia terasa membelakangi.”
Alia terdiam, terharu mendengar setiap kata yang Racha ucapkan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Racha, menutup matanya dan menikmati ketenangan yang mengalir dari kehangatan tubuh Racha.
Racha menghela napas sejenak, lalu berkata dengan nada yang lembut, “Kamu tau, Li, hati kita tuh kaya bintang-bintang di langit ini. Kadang mereka mungkin terpisah jauh, kadang redup, kadang terang. Tapi meskipun jaraknya jauh atau cahayanya lemah, mereka tetap indah, tetap ada di sana. Sama kaya perasaan ini. Selama kita masih saling percaya, selama kita saling menghargai… rasa ini ngga akan hilang.”
Alia menggenggam tangan Racha lebih erat. “Terima kasih, Cha. Terima kasih udah bikin aku percaya kalau cinta itu nyata. Aku… ngga bisa bayangin hidup tanpa kamu.”
Racha tersenyum lembut, lalu mengecup kening Alia. “Dan aku ngga akan kemana-mana, Li. Kamu bagian dari hidupku. Jadi mulai sekarang, apapun yang kamu hadapi, aku ada. Kita jalan bareng, kita hadapi semua bersama. Kamu ngga sendirian.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu tanpa perlu banyak kata lagi. Dengan saling menggenggam tangan, mereka tahu bahwa apa yang mereka punya bukan sekadar perasaan. Itu adalah janji tak terucap, kepercayaan yang mereka pegang, dan cinta yang perlahan-lahan tumbuh, kokoh seperti akar pohon yang tertanam dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Hujan dan Senyum
RomanceRacha, seorang wanita mandiri yang menikmati kesehariannya dengan rutinitas sederhana, tak pernah membayangkan bahwa hujan di suatu sore akan mempertemukannya dengan Alia, seorang perempuan yang penuh kehangatan dan selalu tampak misterius. Mereka m...