6. Catatan Kuno

13 7 4
                                    

Malam telah menyelimuti kerajaan saat Devan, Rana, dan beberapa anggota kelompok pemberontak lainnya bergerak secara diam-diam menuju Kolam Emosi. Angin malam berembus lembut, membawa aroma lembap tanah dan daun yang mulai berguguran. Langit, yang dipenuhi bintang-bintang, tampak tenang, seolah tidak mengetahui kegelapan yang tersembunyi di balik kedamaian ini. Namun, ketenangan itu justru membuat jantung Devan berdetak semakin kencang. Rasa gelisah menyelimuti dirinya, terutama setelah perbincangannya dengan pria bertopeng tadi.

Rana berjalan di sampingnya, diam kendati tetap penuh perhatian. Langkah-langkah mereka senyap di tengah malam, menuju Kolam Emosi, pusat dari semua kebohongan yang selama ini telah membelenggu rakyat mereka.

"Ini akan menjadi titik balik," bisik Rana tiba-tiba, tatapannya lurus ke depan, menatap kolam yang perlahan terlihat di kejauhan. Cahaya redup dari obor yang jaraknya berjauhan menciptakan siluet air tenang, yang di siang hari tampak begitu megah dan suci, akan tetapi di malam hari terlihat suram dan penuh rahasia. "Jika kita berhasil menemukan bukti di sini, Devan, semua bisa berubah."

Devan mengangguk pelan. Dia belum sepenuhnya percaya bahwa apa yang akan mereka temukan akan sepadan dengan risiko yang mereka ambil. Namun, sesuatu di dalam dirinya mendorongnya maju. Penasaran, dan harapan untuk menemukan kebenaran tentang keluarganya, mulai menguasai pikirannya

Setibanya di tepi kolam, sisa-sisa kekacauan dari Festival Mati Rasa yang kacau balau tadi pagi masih terasa di sekeliling Aqualume. Udara dingin malam bercampur dengan bau hangus dari lentera-lentera festival yang terbalik dan mati di sepanjang jalan setapak. Di kejauhan, meja-meja kayu dan bendera festival yang tadinya dihiasi warna-warni kini tampak kusam dan berserakan, menjadi saksi dari bentrokan yang terjadi sepanjang hari. Langkah kaki Devan dan kelompoknya bergema di antara suara kain yang terkoyak dan dedaunan kering yang tersapu angin.

Aqualume, yang biasanya tampak damai saat festival, kini dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap dari apa yang telah terjadi. Beberapa bagian kolam bahkan tampak keruh, seolah mencerminkan kekacauan yang baru saja berlalu. Cahaya bulan yang biasanya memantulkan ketenangan di permukaan air kini terlihat redup, terganggu oleh sisa-sisa emosi dan ingatan yang tak sempurna. Meski malam itu sunyi, masih ada jejak kekacauan yang membuat udara terasa berat dan mencekam.

Devan menyapu pandangannya ke sekitar. Mata Devan menelusuri bekas perlawanan yang tersisa; potongan kain, pernak-pernik festival, dan beberapa benda yang jatuh ke dalam kolam saat orang-orang menyerbu. Devan bisa merasakan aura kegelisahan yang tersisa, seolah-olah kolam itu sendiri mengingat kekacauan tadi, menampung lebih dari sekadar emosi yang dicurahkan warganya.

Salah satu anggota kelompok, seorang pria berwajah tirus dengan sorot mata penuh tekad, melangkah maju di antara reruntuhan dan membuka sebuah gulungan tua dari kantong kulit yang disembunyikan di balik jubahnya. Sekitar mereka, gemerisik angin seolah menjadi saksi bisu atas pertemuan ini, dan meski tidak ada orang lain di sana, Devan tetap merasa diawasi oleh sisa-sisa kehadiran yang tak kasatmata, seperti jiwa-jiwa yang tersesat di antara emosi yang terkubur.

Gulungan itu, terbuat dari kertas kuno yang menguning dan usang, tampak rapuh, akan tetapi berisi tulisan yang sangat penting. Pria itu membuka gulungan tersebut di bawah sinar bulan yang menerangi mereka dengan cahaya lembut. Saat cahaya bulan jatuh pada gulungan tersebut, simbol-simbol aneh dan tulisan kuno dalam bahasa yang hampir terlupakan mulai terbaca.

"Menurut catatan kuno ini," ujar pria tersebut dengan nada hati-hati, suaranya rendah kendati penuh keyakinan, "Aqualume bukan hanya wadah bagi emosi kita, tetapi juga bagi ingatan. Ini adalah bagian dari sihir yang lebih dalam dan jauh lebih gelap dari apa yang diketahui oleh kebanyakan orang."

Rana, yang tampak tegang sejak mereka tiba, memperhatikan gulungan itu dengan penuh perhatian. Sisa-sisa dari festival tadi masih memenuhi pikirannya, kekacauan yang ditimbulkan dari rencana pemberontakan mereka membuatnya gelisah. "Dari mana kau mendapatkan gulungan ini?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, akan tetapi nada waspada terdengar jelas.

Refeel [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang