MyWords02 - The Dark Landlady's Inn 02

1 0 0
                                    

Lama berselang sejak sang Lady menebusku dari sang Penyamun. Dia membawaku ke sebuah penginapan tua yang tampak tak terawat. Hanya ada setapak kecil berbatu yang membelah ilalang sebagai jalan utama.  Di depan penginapan terdapat plang usang bertuliskan 'Ada kamar kosong' yang terpasang miring dan nyaris jatuh.

Saat menengadah, kulihat beberapa kaca jendela pecah dan dibiarkan begitu saja. Aku mulai bertanya-tanya orang gila macam apa yang mau menginap di tempat seperti ini. Sudah terpencil, reyot pula dan mungkin saja banyak hantunya. Aku tak yakin, tapi penginapan ini lebih pantas dijadikan  area uji nyali dibandingkan tempat singgah.

Hari pertamaku diisi dengan ceramah panjang lebar Lady mengenai tugas-tugas yang harus kukerjakan. Mulai dari menyapu, mengepel hingga mengurusi tamu yang rewel. Hanya saja aku dilarang pergi ke area dapur, daerah terlarang. Begitu kata Lady, aku pun tak berani membantahnya. Lalu dia membawaku ke loteng, di sanalah tempatku menghabiskan malam. Hari-hari yang kulalui berikutnya tak begitu buruk. Lagipula tak banyak yang kukerjakan berhubung tamu yang datang hanya satu dua saja.

Suatu hari sang Lady tampak murung, dia menempelkan wajahnya di atas bangku. Sementara itu jemarinya yang lentik membelai gelas bir di depannya. "Oh, sayang. Kau tahu hidup terlalu lama terkadang melelahkan sekali. Meski begitu aku ingin sedikit egois dan hidup lebih lama lagi."

Aku sedikit mencuri pandang ke arah Lady, jika kulihat-lihat dia pasti jauh lebih muda dari ayahku. Lihat saja wajahnya yang seperti porselen itu, tidak ada kerutan-kerutan halus seperti ayah dan ibu. Aku tak yakin dia sungguh berumur ratusan tahun seperti pengakuannya tempo hari.

"Masa jayaku pasti sudah lewat. Aku terlihat jelek sekali sekarang. Pantas saja mereka meninggalkanku begitu saja." Lady meneruskan setelah kembali meneguk birnya. "Mereka memilih mati daripada bersamaku. Nasibku yang sungguh malang ataukah kita memang hidup di waktu yang salah?"

"Ah, Muntzer yang rupawan, Hutten yang hebat, Sickingen, ah, yang paling semangat dan kucintai lebih dari siapapun." Dia mulai meratap dan menceracau, jika sudah begitu Lady tak bisa diganggu. Bahkan saat lonceng pintu berdenting pertanda tamu datang terdengar.

"Lady, oh Lady ada tamu yang datang." Aku memanggilnya dengan lembut. Namun, wanita itu tak juga bergeming. "Lady, oh, Lady."

Aku pun mendekatinya, dan kutepuk bahunya perlahan. Dia segera saja mengalihkan pandangan dari gelas birnya yang kosong ke padaku. Sekilas kulihat matanya memerah dan berkilat-kilat penuh kemarahan.

"Siapa yang sudah menerima orang desa bodoh sepertimu! Jaga lidahmu saat berbicara denganku!!!"

Aku mundur beberapa langkah, saat Lady dengan secepat kilat mengubah ekspresinya menjadi sangat ramah. Gaunnya yang semerah darah bergemerisik mengikuti langkah Lady.

"Oh, maafkan atas keributan kecil ini, Tuan. Bagaimana dengan bir, Tuan. Oh, tentu saja saya akan membawakan Anda hidangan hati kami yang terkenal itu."

Pria yang sepertinya terbuat dari otot itu hanya mengangguk. Dia lantas duduk di sudut ruangan, di dekat jendela yang menghadap ke pemakaman. Matanya terlihat seperti serigala yang lapar, membuatku sedikit takut. Meski sudah lumayan lama menghadapi tamu-tamu Lady, rasanya aku takkan pernah terbiasa.

Tak lama Lady segera pergi meninggalkan kami nyaris satu jam. Membuat pria berotot murka, matanya melotot, rahangnya mengeras. Dia seolah-olah sudah siap menerkamku. Meski aku berkali-kali mengucapkan maaf, semua tampak tak berguna.

Kemarahan pria itu baru reda saat Lady kembali membawa hati segar yang masih berdarah-darah. Dia menyurungkan seporsi penuh pada pria berotot, membuat tamu tersebut riang gembira dan berhenti menatapku. Pria itu langsung saja melahap hati yang telah disiapkan. Segera setelahnya tamu yang marah langsung tenang, dia lantas membuka satu kamar dan naik ke lantai dua.

Melihat hal ini bukannya senang Lady malah semakin marah, dia melirik padaku. Aku tak begitu jelas mendengarnya, tetapi sekilas dia berkata, "Jika tidak ada mayat, aku tinggal membuatnya sendiri, kan? Aku lelah menjadi miskin. Meski aku cantik apa gunanya jika sengsara."
Dan semuanya menjadi gelap.

"Hmm, sayang tahukah kau itulah alasan dia menggantungmu. Sungguh gadis yang malang." Kelinci bermata merah menatapku dengan iba. Dia menutup perkamennya dan berdiri menghampiriku yang kini bercucuran air mata saat menuturkan kisah hidupku. "Kami akan membantumu mendapatkan kembali yang dicurinya. Sekarang haruskah kita memulai tragedi balas dendam ini?"

"Haruskah?"

"Tentu saja, memang kau rela hidupmu berakhir begitu malangnya? Meski hanya untuk terakhir kali setidaknya kau harus menuntut balas, Sayang."

Dan semua kembali menggelap.

Knock knock knock, knock knock on the door
Knock knock knock, knock knock on the door
Knock knock knock, knock knock on the door
The black swing...

Kelinci bermata merah terus bersenandung saat secara ajaib kami sampai di depan pintu penginapan. Tangannya yang berbulu terus mengetuk pintu, bibirnya yang kecil terus bernyanyi riang.

Di sisi lain seolah ada energi besar yang merasukiku. Jemariku yang kurus berubah menjadi cakar-cakar menyeramkan. Segera saja kuterkam sang Lady.

"Kembalikan hatiku!!!"

Terakhir kudengar jeritan Lady yang memekakkan telinga. Sementara sang kelinci terus bernyanyi, aku terus mencabik-cabik Lady, mengambil hati miliknya.

The black swing is dancing....

Saat kusadari semua telah berakhir, tanganku bersimbah darah. Sang Lady telah terbujur kaku dengan kubangan darah di lantai penginapannya. Lalu sang Kelinci tersenyum dengan cerah, menutup lembar perkamen yang terus mengikutinya.

"Bagaimana sayang, apa kau puas? Apa kau bisa merasakan nikmatnya balas dendam, hmm?" Kelinci itu mendekatiku, dia melompati kubangan darah Lady. Lalu melihatnya dengan jijik.

Apa aku puas? Entah aku tak bisa merasakannya. Meski telah berjuang untuk hidupku, meski aku telah menuntut balas akan kematianku yang tragis, tapi apa gunanya.  Pada akhirnya aku bahkan tidak tahu apa itu hidup.

Dan semua menjadi gelap. Kegelapan panjang kembali memerangkapku membawaku dalam kehampaan tak berujung. Hal terakhir yang kuingat hanya perkataan sang Kelinci.

"Baiklah sayang, mulai dari sini aku yang akan mengambil alih kisah ini. Tetapi percaya padaku kisahmu akan selalu diingat oleh setiap orang yang membacanya."

Dan semuanya berakhir.

****

Garden of Words 2024 - Fairytale of Light and DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang