Eleonora terkejut, matanya melebar, dan hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa takut. "Tidak! Kau tidak bisa melakukan itu, Wilian!" katanya dengan suara bergetar, kepanikan mulai merayap di wajahnya. "Jika kau pergi... maka siapa yang akan menemaniku? Siapa yang akan melindungiku?"
"Aku harus melakukannya, Eleonora," ia berkata dengan lembut.
"Ini satu-satunya cara agar kau bisa tetap aman. Mereka akan terus mencari, dan jika aku tidak menyerahkan diri, mereka akan tahu kau masih di sini. Aku tidak bisa membiarkanmu tertangkap."
Eleonora menggeleng dengan kuat, air mata mulai menggenang di sudut matanya.
"Tidak, Wilian! Kau tidak boleh pergi. Aku... Aku tidak bisa sendirian. Aku tidak ingin kehilanganmu!"
Mendengar ketakutan Eleonora, Wilian merasa hatinya bergetar, tapi ia tetap mencoba tersenyum menenangkannya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya, Eleonora. Aku janji, aku akan kembali. Tapi untuk saat ini, ini adalah satu-satunya cara untuk membuat mereka berhenti mengejarmu."
Namun, bagi Eleonora, pikiran kehilangan Wilian terasa terlalu berat. Selama ini, dialah satu-satunya yang memberinya rasa aman dan ketenangan.
"Tapi aku butuh kau di sini, Wilian..." bisiknya dengan putus asa.
Wilian mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Eleonora erat-erat. "Aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, ini semua demi keselamatanmu. Kau kuat, Eleonora. Lebih kuat dari yang kau kira."
Air mata mulai jatuh di pipi Eleonora, tapi ia tahu bahwa Wilian sudah memutuskan. Rasa takut dan kesedihan melanda dirinya, namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa Wilian hanya ingin melindunginya.
Melihat air mata yang mengalir di pipi Eleonora, Wilian segera menariknya dalam pelukan yang hangat. Tubuh Eleonora bergetar karena isakannya, dan Wilian dengan lembut mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya. "Aku akan baik-baik saja di sana, Eleonora," bisiknya dengan suara lembut, meski jauh di dalam hati ia sendiri tak sepenuhnya yakin.
Namun, Eleonora menggenggam erat baju Wilian, seolah takut dia akan hilang begitu saja. Dengan suara parau, ia berkata, "Bagaimana jika... aku tidak akan pernah melihatmu lagi? Aku tak sanggup jika itu terjadi, Wilian..."
Wilian terdiam sejenak, menatap ke langit yang cerah di atas mereka. Pikiran itu juga menghantuinya-bahwa mungkin ini adalah terakhir kalinya mereka bersama. Namun, ia tahu, yang terpenting saat ini adalah memastikan Eleonora selamat meski itu berarti harus berpisah untuk waktu yang lama, atau bahkan selamanya.
Dengan hati-hati, ia mengangkat wajah Eleonora dari dadanya, menatap matanya yang masih berlinang air mata.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini," ucapnya pelan, jujur. "Tapi yang aku tahu pasti adalah, aku ingin kau hidup lebih baik. Hidup tanpa harus merasakan kerasnya dunia ini. Dan, percayalah... pasti ada saatnya kita akan bertemu lagi."
Eleonora menggeleng pelan, merasa takut akan ketidakpastian itu. Tapi Wilian menghapus air matanya dengan lembut, memberikan senyum tipis meski dalam hatinya terasa berat.
"Mereka tidak akan memberikan hukuman yang berat. Aku sudah memikirkan semuanya."
"Bagaimana jika tidak seperti itu? Bagaimana jika mereka menghukummu lebih dari yang kau bayangkan?"
Wilian hanya tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Itu rahasia," jawabnya dengan nada menggoda, membuat Eleonora semakin sebal.
Merasa kesal dengan jawaban Wilian, Eleonora memukul dadanya pelan. "Kau selalu saja begitu, menyembunyikan sesuatu!" gerutunya, bibirnya cemberut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love letter Eleonora || Tamat
FantasyEleonora Octavia, gadis cantik jelita dengan hati suci, tak pernah menyangka hidupnya akan terjerat dalam pusaran cinta terlarang. Kehidupannya yang sederhana dan damai seketika sirna saat ia diculik para prajurit istana dan dipaksa menjadi selir sa...