'VARELLEO' 1

69 30 2
                                    

"Leona Maeva..."—Varelius.


1. PEMILIK TATAPAN TEDUH

Pagi di SMA Cakrawala biasanya diawali dengan suasana yang tenang, namun penuh semangat. Saat matahari mulai terbit, sinar lembutnya menyinari lapangan sekolah yang luas, memberikan kehangatan pada udara pagi yang sejuk. Embun di rerumputan perlahan menguap terkena sinar matahari yang mulai menghangat, sementara deretan pohon rindang di sepanjang jalan menuju gerbang sekolah menambah kesan tenang.

Pada pagi ini, SMA Cakrawala kedatangan seorang siswa baru, seorang pemuda berkulit cokelat dengan penampilan sederhana. Kacamata tebal bertengger di wajahnya, rambutnya terlihat sedikit berantakan, dan tas punggungnya tampak penuh dengan buku. Dengan langkah gugup, ia melewati gerbang besar SMA Cakrawala, sekolah barunya yang terasa begitu asing dan membuatnya tampak canggung di antara keramaian siswa lainnya.

Langkahnya terhenti seketika ketika seorang pemuda dengan penampilan jauh berbeda darinya dengan sengaja menabrakkan bahunya, membuat tubuhnya oleng dan jatuh tersungkur di tanah. Tanah yang dingin dan kasar terasa menusuk kulit tangannya saat ia berusaha menopang tubuhnya agar tidak terjatuh sepenuhnya.

Dengan tangan gemetar, ia meraih kacamata yang hampir terlepas dari wajahnya dan perlahan-lahan memperbaiki letaknya. Pemuda yang menabraknya terkekeh penuh ejekan.

"Varelius Davindra P. P-nya apa? Pengecut?" ujarnya sambil memandangi nama yang tertera pada seragamnya dengan nada menghina.

Suara tawa meremehkan dari sekelompok orang di belakang pemuda tersebut turut bergema, membuat suasana semakin tak nyaman. Mereka jelas bagian dari komplotannya, siap mendukung setiap hinaan yang dilontarkan. Suasana sekolah yang tadi terasa asing kini berubah menjadi lebih menekan, seolah-olah semua mata tertuju padanya, menunggu reaksi apa yang akan ia berikan.

"Maaf..." 

Hanya kata itu yang keluar dari bibir Varel, pelan seperti bisikan. Ia berusaha untuk memperbaiki situasi dan berdiri kembali, tetapi belum sempat melakukannya, pemuda yang menabraknya itu tiba-tiba menendang kakinya dengan keras. Rasa sakit langsung menjalar dari kakinya hingga ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis kesakitan.

Setelah melakukan tindakan brutalnya, pemuda itu melangkah pergi dengan sikap acuh tak acuh, tanpa menunjukkan minat untuk meminta maaf atau memberi perhatian pada kondisi Varel. Suasana di sekelilingnya seolah membeku, hanya suara langkah kaki pemuda itu yang terdengar semakin menjauh.

Dalam keadaan yang masih terasa menyakitkan, Varel mencoba untuk mengatur napasnya dan mengabaikan rasa sakit yang menjalar. Ia samar-samar mendengar ucapan salah satu teman dari pemuda tersebut yang sepertinya menyaksikan kejadian itu. 

"Gio, Gio. Kasihan anak itu," ucap temannya tersebut dengan nada campur aduk antara simpati dan ejekan.

Tempat yang seharusnya menjadi awal yang baik namun kini dipenuhi oleh rasa sakit dan penghinaan.

^⁠^^⁠^

Saat Varel melangkah menuju ruang guru, pikirannya dipenuhi bayangan mengenai kelas yang akan menjadi tempatnya belajar. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika hembusan angin lembut menyapu wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Rambut seseorang yang panjang tertiup angin, ujung-ujungnya menyentuh kulitnya dengan lembut, meninggalkan jejak aroma manis yang mengingatkannya pada stroberi segar. Waktu terasa melambat, seolah angin membawa lebih dari sekadar wangi. Sebuah rasa penasaran yang mulai menjalari pikirannya.

VARELLEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang