Bab 1: Genggaman Tangan

274 37 8
                                    

Orang bilang hari pertama bekerja bukanlah hari yang menyenangkan. Awalnya, Yoko tidak percaya dengan ungkapan itu. Tetapi sekarang, dia merasakan sendiri keaslian dari apa yang sering orang-orang tersebut katakan.

Helaan napas panjang terdengar berat. Yoko menatap lesu ke arah cermin. Ia menutup mata kemudian membukanya lagi setelah mengembuskan napas dalam. Total sudah lima kali Yoko dimarahi karena salah meng-input data. Padahal belum ada setengah hari ia bekerja, tetapi tekanan yang dirasakan sudah seperti menjadi karyawan tetap selama 10 tahun.

Ia keluar dari restroom setelah berhasil menguatkan diri. Di sepanjang koridor Yoko berusaha tersenyum untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit karena terus menerus dimarahi. Dahi gadis itu mengernyit tipis saat kembali ke meja kerjanya. Terdapat sebuah kopi dengan catatan tertempel di bagian depan.

Hi! Ini kopi untukmu. Aku janji tidak akan melupakanmu lagi untuk kopi selanjutnya.

— FY

Senyum Yoko melebar. Rasa lelah dan stress yang sedari tadi mengerubungi tubuhnya kini hilang tak membekas. Gadis itu kemudian duduk. Memandangi gelas kopi plastik di tangannya dengan tatapan begitu dalam. Hatinya berdebar sedikit lebih kencang. Ia benar-benar tidak mengira jika Faye akan memberinya kopi. Hal itu sungguh membuatnya semakin jatuh cinta pada gadis bertopi tadi pagi.

Tanpa disadari, sedari tadi Marissa sudah duduk di sampingnya sembari memutar bola mata. Tangannya dengan pelan menarik hidung Yoko ke bawah. “Kembali kerja, Yoo ...!”

“Ah aduh aduh!” Yoko sedikit berteriak. Bibirnya mengerucut lucu. “Sakit, Marissa!’

Kedua tangan Marissa menyilang di depan dada. “Jangan terbawa perasaan. Khun Faye memang suka seperti itu.”

Kedua alis Yoko terangkat. Ia menatap Marissa dengan wajah polosnya. Marissa menghela napas. Bibirnya bergerak mengisyaratkan pada gelas kopi yang tengah Yoko genggam.

“Aku juga sering diberi kopi oleh Khun Faye. Setiap hari malah. Tidak ada yang istimewa dari itu. Jadi, bersikaplah sewajarnya.”

“Aish, kau menghancurkan suasana hatiku, Marissa.” Yoko menggerutu. “Tapi setidaknya dia mengingatku,” ujarnya lagi sembari menyimpan gelas kopi itu di meja. Ia mengambil ponsel kemudian memfotonya. Senyum manis Yoko kembali terpampang indah.

Marissa menggelengkan kepala. “Ayo kembali bekerja. Ini, selesaikan semuanya sebelum jam pulang.” Dia menyodorkan sejumlah file yang langsung dihadiahi Yoko dengan tatapan malas.

“Ingat, harus selesai sebelum jam pulang. Mengerti?”

“Iya iya ...,” jawab Yoko dengan suara kesal yang begitu lemah. Dia menyimpan berkas itu lalu menatap lagi gelas kopi di sisi lain meja. Hari pertama bekerja yang orang orang bilang menyeramkan, bagi Yoko, kini berubah menjadi sedikit berwarna.

***

Jam sudah menunjukkan angka delapan, tetapi Yoko belum juga pulang. Gadis itu meregangkan badan setelah lima belas menit berlalu. Napasnya berembus panjang. “Ah, akhirnya selesai juga,” ujarnya sembari mematikan komputer. Ia tersenyum miris. Kantor sudah sepi, bahkan semua lampunya sudah dimatikan. Tinggal dia seorang diri di sana.

“Tidak apa-apa, Yoko. Ini hari pertamamu. Jika karyawan magang memang tidak boleh lembur, anggap saja ini adalah loyalitas hari pertamamu,” kata gadis itu menyemangati diri sendiri. Tangannya menepuk-nepuk pipi dengan lembut. “Sekarang, ayo pulang. Aku sudah ingin tidur.”

Happen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang