Bagian 1 "Bayangan Dikegelapan"

2 1 0
                                    

Bayangan di Kegelapan - Bagian 1

Arman duduk terpaku di kursinya, amplop kusam itu tergeletak di meja kayu di depannya. Di luar, hujan masih turun deras, menciptakan irama monoton yang menghantam jendela apartemennya. Lampu ruangan berkedip-kedip, seolah mencerminkan suasana hatinya yang kacau. Sudah bertahun-tahun ia tidak melihat Rina, bahkan tidak mendengar kabar apa pun sejak kehilangannya. Dan kini, tiba-tiba, sebuah foto dirinya muncul di depan pintunya, memicu rasa takut dan penasaran yang tak terelakkan.

Tatapan Arman tertuju pada pesan singkat di balik foto itu. "Temukan aku sebelum mereka menemukannya." Siapa "mereka"? Apa yang terjadi pada Rina selama dua puluh tahun ini?

Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya. Ia tahu tidak bisa mengabaikan ini, namun bayangan masa lalu itu menimbulkan luka yang dalam. Arman telah mencoba melupakan Rina—atau setidaknya meyakinkan dirinya bahwa dia telah melupakannya. Tapi surat ini, dengan kata-kata yang penuh ancaman, membawanya kembali ke dalam pusaran rasa bersalah dan ketakutan yang pernah menghantui hidupnya.

Dengan tangan gemetar, Arman mengeluarkan sebotol whiskey dari laci meja, menuangkan sedikit ke dalam gelas, lalu menenggaknya dengan cepat. Rasa panas yang menyengat tenggorokannya setidaknya memberikan sedikit kenyamanan. Dia tahu hanya ada satu pilihan: mencari tahu apa yang terjadi. Namun, ini bukan tentang menemukan Rina saja. Ini tentang menghadapi kegelapan yang lebih dalam dari sekadar bayang-bayang masa lalu.

Arman mengambil jaket kulitnya, bersiap meninggalkan apartemen. Di benaknya, ia sudah tahu harus mulai dari mana—apartemen lama Rina, tempat terakhir di mana dia terlihat sebelum hilang begitu saja. Namun, sebelum dia sempat keluar dari pintu, ponselnya bergetar di meja.

Sebuah nomor tak dikenal.

Arman ragu sejenak sebelum mengangkatnya. "Halo?"

Tak ada suara di seberang. Hanya desahan napas pelan yang nyaris tak terdengar. Arman hampir menutup telepon, ketika suara samar berbicara di seberang.

"Kau seharusnya tidak mencarinya, Arman."

Detak jantung Arman seolah berhenti sejenak. Suara itu dalam, penuh dengan ancaman, dan familiar. Tapi ia tak bisa mengenali siapa pemilik suara tersebut.

"Siapa ini?" Arman berusaha terdengar tegas, namun ada kegelisahan yang merayap dalam nada suaranya.

Tak ada jawaban. Hanya bunyi klik, dan sambungan telepon terputus. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah siapa yang baru saja menelepon, tapi peringatan itu jelas—ada seseorang yang tidak ingin dia menggali lebih jauh.

Namun, ancaman itu justru membuat Arman semakin yakin. Dia tidak bisa mundur sekarang. Ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang mungkin bahkan lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan.

Apartemen lama Rina terletak di ujung kota, di kawasan yang sudah lama ditinggalkan. Bangunannya sudah tua, dindingnya kusam, penuh coretan dan jejak kerusakan akibat waktu. Hujan mulai mereda, namun kabut tebal mengelilingi area itu, membuat suasana semakin mencekam.

Saat Arman melangkah mendekati pintu depan apartemen, kenangan masa lalu berkelebat di pikirannya. Mereka pernah bahagia di sini—berbagi tawa, mimpi, dan harapan sebelum semuanya berubah menjadi mimpi buruk. Dia berusaha mengabaikan perasaan itu, fokus pada tujuan utamanya.

Dengan kunci cadangan yang pernah diberikan Rina, Arman membuka pintu yang berderit keras. Bau lembap dan debu menyambutnya, seolah apartemen itu sudah lama tidak dihuni. Ruang tamu terlihat persis seperti yang ia ingat, namun dengan lapisan debu yang menutupi setiap permukaan.

Arman menyalakan senter kecil, menyusuri setiap sudut ruangan dengan teliti. Tidak ada yang mencolok di sana, kecuali sebuah kotak kayu kecil di sudut meja. Perlahan, ia membuka kotak itu dan menemukan sesuatu yang tak ia duga—sebuah buku catatan tua, penuh dengan tulisan tangan Rina.

Namun, semakin ia membaca catatan itu, semakin bingung ia dibuatnya. Halaman-halaman buku itu dipenuhi dengan kata-kata acak, gambar-gambar aneh, dan sketsa sosok yang mengintai dari kegelapan. Di setiap halaman, ada tulisan yang berulang: "Mereka mengawasi. Mereka datang."

Tiba-tiba, pintu di belakangnya berderit, membuat Arman tersentak. Ia menoleh cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Tapi jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan aneh, seolah-olah ada seseorang yang sedang mengawasinya dari dalam kegelapan.

Lalu, dari ujung ruangan, ia mendengar suara langkah kaki pelan mendekat.

Arman meraih pistol di pinggangnya, mengarahkannya ke pintu. "Siapa di sana?"

Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Perlahan, langkah itu semakin mendekat, namun tetap tak terlihat siapa yang membuatnya. Ketegangan merambat ke seluruh tubuh Arman, saat ia bersiap menghadapi apa pun yang mungkin muncul dari balik bayang-bayang.

Suara langkah kaki itu tiba-tiba berhenti. Dan di dalam kegelapan, terdengar suara napas berat, seolah-olah ada seseorang yang berdiri di sana, hanya beberapa meter darinya.

Suara yang sangat dekat.

Sangat nyata.

Arman menahan napas, tangannya gemetar memegang pistol. Namun, sebelum dia sempat bergerak, terdengar suara pelan yang familiar di balik kegelapan:

"Kau terlambat, Arman."

Seketika, lampu di ruangan berkedip-kedip, dan bayangan besar muncul di dinding di hadapannya. Sesuatu, atau seseorang, sedang berdiri di belakangnya.

Bayangan di kegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang