Bagian 2 "Jejak yang Hilang"

1 0 0
                                    

Malam semakin larut ketika Arman duduk di kantor kecilnya, ditemani oleh suara detak jam yang monoton dan secangkir kopi dingin yang sudah tak tersentuh. Surat misterius itu tergeletak di atas meja, kata-katanya seolah menari di benaknya, terus-menerus mengusik pikirannya. Nama itu—Rina. Nama yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak mereka terakhir bertemu. Namun, yang membuat surat itu lebih meresahkan adalah kalimat terakhirnya: "Jika kau ingin menemukan Rina, kau tahu di mana harus mencari."

Tapi Arman tidak tahu. Itu masalahnya. Tidak ada petunjuk, tidak ada jejak yang jelas. Hanya kekosongan, seperti bayang-bayang yang bersembunyi di sudut-sudut gelap kehidupannya.

Arman berdiri dan menatap keluar jendela kantornya yang kecil, melihat bayangan kota yang sunyi. Lampu jalan memancarkan cahaya lemah, seolah-olah mereka juga lelah dengan dunia ini. Di kejauhan, terdengar suara klakson mobil yang sesekali memecah keheningan malam. Selama ini, dia telah menjauh dari kehidupan penuh risiko yang dulu ia jalani, mencoba menjalani hidup sederhana sebagai detektif swasta yang hanya menangani kasus-kasus kecil. Namun surat itu telah menariknya kembali ke dalam dunia yang berbahaya, dunia yang telah ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu.

Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika ia dan Rina masih bersama. Rina adalah segalanya baginya—cerdas, penuh semangat, dan selalu misterius. Hubungan mereka tak pernah mudah, selalu penuh dengan rahasia. Rina sering terlibat dalam hal-hal yang tak bisa ia jelaskan, dan Arman terlalu sering terjebak dalam masalah-masalah itu. Hingga suatu hari, tanpa peringatan, Rina menghilang begitu saja. Tidak ada jejak, tidak ada pesan perpisahan. Hanya sebuah kekosongan yang perlahan memakan dirinya selama bertahun-tahun.

Arman mencoba mencari Rina saat itu, namun setelah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, usahanya tidak menghasilkan apa-apa. Dan akhirnya, dengan penuh rasa kecewa, dia menyerah. Tapi sekarang, dengan surat misterius ini, sepertinya semua kembali menghantuinya.

Telepon berdering, mengalihkan pikirannya. Arman meraihnya dengan cepat, berharap itu akan memberinya arah dalam kekacauan ini.

"Arman," suara di ujung sana terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Suara itu terdengar akrab, tapi Arman tidak bisa langsung mengenalinya. "Kita harus bicara. Aku tahu tentang Rina."

Arman terdiam sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa ini?" tanyanya, mencoba menenangkan kegelisahannya.

"Bukan di telepon. Temui aku di bar tua di sudut jalan delapan. Sekarang." Telepon terputus sebelum Arman bisa bertanya lebih lanjut.

Bar tua di jalan delapan? Tempat itu sudah lama ditutup, tapi ia ingat ada beberapa tempat di dekatnya yang masih beroperasi di bawah radar, tempat orang-orang seperti dia dulu berkumpul. Meskipun rasa curiga merayapi benaknya, ini adalah petunjuk pertama yang ia miliki. Tidak ada pilihan lain.

Udara malam terasa dingin ketika Arman tiba di bar yang dimaksud. Tempat itu tampak sepi, hanya beberapa orang yang duduk di meja dengan minuman di tangan mereka, tenggelam dalam percakapan berbisik. Cahaya lampu yang redup dan musik jazz tua mengisi ruangan, menciptakan suasana yang penuh nostalgia, tetapi juga mencekam.

Arman melangkah masuk dan memindai ruangan. Di sudut paling belakang, seorang pria duduk sendirian, wajahnya tertutup bayangan. Arman mendekat, dan ketika pria itu mengangkat wajahnya, jantung Arman berhenti sejenak.

"Riko?" Arman mengernyit, terkejut. Riko adalah salah satu rekan lamanya, seorang informan jalanan yang pernah bekerja dengannya di masa lalu. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan tidak ada kabar tentang Riko sejak beberapa tahun lalu.

Riko tampak lelah, lebih tua dari terakhir kali Arman melihatnya, seolah-olah hidup telah menggerogoti dirinya. Tapi sorot matanya masih tajam, penuh kewaspadaan. "Duduk," ucap Riko pelan, tangannya menggenggam gelas minuman. "Kita nggak punya banyak waktu."

Arman duduk, matanya tetap menatap Riko dengan tajam. "Kamu bilang tahu tentang Rina. Apa maksudmu?"

Riko mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan selembar foto dari saku jaketnya. "Ini dia, beberapa bulan yang lalu. Dia tidak menghilang begitu saja, Arman. Dia terlibat dengan sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga."

Arman meraih foto itu dengan tangan gemetar. Di sana, terlihat Rina berjalan di antara bayang-bayang, mengenakan mantel hitam, dengan wajah yang tampak tertekan. Latar belakangnya kabur, namun jelas diambil di sebuah tempat yang tidak dikenal oleh Arman.

"Kapan ini diambil?" tanyanya cepat, nadanya penuh urgensi.

"Sekitar enam bulan lalu. Ada sebuah kelompok yang mengawasinya. Mereka berbahaya, Arman. Bayangan di balik organisasi ini begitu gelap, kamu bahkan tidak ingin tahu seberapa dalamnya. Mereka punya pengaruh besar di bawah radar, dan Rina terjebak di dalamnya."

"Apa maksudmu dengan 'terjebak'?" Arman merasa darahnya berdesir.

Riko menundukkan kepalanya sedikit. "Mereka mengendalikan setiap gerakan orang-orang di sekitar mereka. Orang yang mencoba keluar, tidak pernah selamat. Dan yang lebih buruk, mereka menguasai segala aspek kehidupan orang-orang yang mereka pilih."

Arman mendengarkan dengan cemas. "Lalu kenapa Rina terlibat? Apa hubungannya dengan mereka?"

"Rina... dia mencoba menyelidiki sesuatu yang seharusnya dia biarkan saja. Kau tahu bagaimana dia, kan? Dia selalu tertarik pada hal-hal yang lebih gelap, yang tersembunyi di balik permukaan. Itu kesalahan terbesarnya." Riko menatap Arman dengan sorot yang serius. "Dan sekarang, mereka tidak akan membiarkan siapa pun yang berusaha menemukannya tetap hidup."

Arman merasakan dadanya terasa berat. Kegelapan yang selama ini dia hindari perlahan-lahan mengelilinginya kembali. "Lalu, apa yang bisa aku lakukan?"

Riko menggeleng. "Kau sudah masuk terlalu dalam, Arman. Jika kau lanjutkan ini, tidak ada jalan keluar. Bayang-bayang selalu mengintai, dan saat kau melihatnya, mereka sudah terlalu dekat."

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Arman dan Riko segera terdiam. Dua pria tinggi berbadan kekar berjalan masuk ke dalam bar, tatapan mereka dingin dan tajam, seperti sedang mencari seseorang.

"Sudah terlambat," bisik Riko dengan napas tertahan. "Mereka sudah menemukan kita."

Dengan cepat, Riko menyelipkan sesuatu ke tangan Arman sebelum berdiri dan berjalan menjauh. "Temukan dia, Arman. Sebelum mereka menemukannya lebih dulu," ucapnya lirih.

Arman menggenggam benda yang diberikan Riko—sebuah kunci kecil. Dan saat pria-pria itu mendekat, insting detektif lamanya mengambil alih. Dia tahu satu hal pasti: malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan setiap jejak yang dia tinggalkan akan membawa bayangan kegelapan semakin dekat.

Bayangan di kegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang