Bab 5

2.6K 232 34
                                        

Suara riuh teriakan dan tawa seakan menjadi nyanyian indah di malam minggu ini. Banyak orang yang pergi ke luar untuk jalan-jalan atau sekadar menghabiskan waktu bersama orang tersayang, entah itu keluarga, teman, atau bahkan pasangan.

Pasar malam adalah salah satu tempat yang layak untuk kalian kunjungi jika ingin bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama orang terdekat. Sama halnya dengan yang Rafa lakukan. Dirinya dan El pergi ke pasar malam yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.

Keduanya mencoba beberapa wahana permainan, hingga kini giliran untuk mencoba wahana yang berbentuk kapal bajak laut. Wahana favorit Rafa.

Rafa menggenggam tangan El yang sudah sangat dingin, wajah laki-laki itu terlihat pucat. Namun, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum ketika Rafa memperhatikannya.

"El, kok muka kamu pucet gitu? Kita turun aja, ya?" tanya Rafa khawatir.

El menggeleng lalu menautkan jemarinya pada sela jemari Rafa. "Aku gapapa, lagi pula aku ngajak kamu ke sini buat seneng-seneng naik wahana yang kamu mau sepuasnya, jadi gak usah khawatir. Aku baik-baik aja." El kembali tersenyum. Walaupun kakinya sudah sangat lemas karena takut, tetapi ia harus tetap berani menaiki wahana itu demi Rafa-nya.

Wahana yang mereka naiki secara perlahan mulai berayun, dari yang lambat berubah menjadi semakin cepat, mengundang suara jeritan yang memekakkan telinga dari para penumpangnya.

Senyum riang yang dihadirkan orang-orang di sana menandakan seberapa senang perasaan mereka, begitu pula dengan Rafa. Pemuda itu terlihat sangat bahagia dan menikmati setiap momen kebersamaannya dengan El.

Ketika sedang asyik-asyiknya tertawa, tiba-tiba saja banyak pasang mata yang memandang Rafa serta El dengan tatapan yang sulit ditebak. Hal tersebut berhasil menghentikan tawa Rafa yang kini digantikan dengan perasaan tidak nyaman terhadap tatapan yang orang-orang layangkan padanya.

Rafa mendekatkan mulutnya ke telinga El lalu berbisik, "El, kok mereka ngeliat kita kayak gitu, ya?"

"Mungkin mereka terpesona dengan ketampananku?" terka El yang membuat Rafa memukul lengannya. Bahkan dikeadaannya yang sedang tidak baik, El masih sempat-sempatnya bercanda.

El tertawa kecil ketika Rafa memukulnya, baginya pukulan itu sama sekali tidak sakit. Keduanya saling pandang, mengagumi satu sama lain sebelum akhirnya tertawa bersama, seolah tidak lagi memedulikan tatapan heran dari orang-orang.

Selang beberapa saat, akhirnya wahana kora-kora itu terhenti. Rafa dan El duduk di kursi yang disediakan di sana. Dengan ekspresi wajah yang terlihat khawatir, Rafa mengusap lembut punggung El yang kini terduduk dengan kepala yang ia tundukan ke bawah karena merasa pusing sekaligus mual.

"Kan tadi udah dibilang kita turun aja, ngeyel si," celoteh Rafa, "aku beliin minum dulu ya, kamu tunggu di sini," lanjutnya.

El menggeleng kemudian bangkit dari duduknya.
"Gak usah, aku aja yang beli. Kamu tunggu sebentar."

Rafa hendak menolak, tetapi El lebih dulu berjalan pergi. Namun, baru berjalan beberapa langkah Rafa kembali memanggil namanya.

"El," panggil Rafa yang membuat sang empu berhenti dan berbalik untuk melihatnya.

"Nanti kita naik wahana itu, ya?"

El mengikuti arah telunjuk Rafa yang mengarah ke wahana bianglala di belakang pemuda itu. Dirinya tersenyum kecil sembari menganggukkan kepala.

Mendapat jawaban yang ia inginkan membuat Rafa tersenyum lebar karena saking senangnya. Sebelumnya ia dan El belum pernah mencoba wahana tersebut, tetapi sekarang mereka berdua akan menikmati malam yang indah ini berdua di atas bianglala.

__

"Bang, permen kapasnya satu ya," pinta Noah pada penjual permen kapas di hadapannya.

"Makasih, Bang." Noah menyodorkan selembar uang berwarna merah ke penjual itu ketika pesanannya sudah selesai dibuat.

Noah berbalik menghadap ketiga temannya yang sedang menunggu, lantas menyerahkan permen kapas itu kepada Raka.

"Kok gue gak dibeliin juga?" tanya Sandi yang merasa iri karena Noah hanya membelikan untuk Raka.

"Beli sendiri," jawab Noah. Tak mengindahkan permintaan temannya itu dan lebih memilih membuka plastik yang membungkus permen kapasnya sebelum Raka menyantap jajanan itu.

"Jahat banget, hati eneng kan jadi terpotek-potek." Sandi mengelus dadanya dramatis sembari membuat mimik wajah sedih.

Noah tak acuh, ia memilih memperhatikan Raka yang sedang asik memakan permen kapasnya.

"Btw thanks, Bro," ujar Raka.

"Ekhem!" Sandi berdehem dengan nada menyindir sembari membuat ekspresi mengejek yang ia tunjukan ke Noah.

"'Bro' katanya. Duh, nyesek gak tuh, padahal udah effort," ejek Sandi.

"Diem lu kecebong!" Noah menatap Sandi sengit.

"Yehh, mana ada kecebong seganteng gue." Sandi berjalan mendekat ke Raka lalu membuka mulutnya, mengisyaratkan Raka untuk menyuapinya permen kapas.

Raka menurut. Ia menyuapkan permen kapas itu ke mulut Sandi yang sudah terbuka lebar seperti mulut paus.

"Enak njir! Kayak ada manis-manisnya!" kata Sandi melebih-lebihkan.

Ezra yang ada di sana hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan temannya yang satu ini.

"Ezra, beliin gue permen kapas ya, gue gak bawa duit soalnya. Entar gue ganti deh," pinta Sandi.

"Gak, utang lo yang kemarin aja belum lunas," balas Ezra santai tapi menusuk.

"Ah elah pake diingetin. Pasti gue bayar, tenang aja napa si."

"Kapan?"

"Kapan-kapan," jawab Sandi sambil nyengir.

"Bocah si ngutang mulu. Entar dikasih bunga sama Ezra baru tau," cerocos Raka ikut menimpali.

"Ya, karna slogan seorang Sandi Ravindra adalah dengan mengutang, hidup lebih menantang," balas Sandi bangga.

Ezra memutar bola matanya malas. Berharap apa ia dari makhluk menyebalkan seperti Sandi yang sayangnya adalah sahabatnya sedari SMP.










TBC









_
_
_

Mata Kembar Buta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang