1.Potongan Masa Lalu

11 1 0
                                    

Shana sedang tertidur pulas ketika ia mendadak terbangun karena suara ribut di luar kamarnya. Shana yang awalnya cuek karena berpikir yang bertengkar adalah tetangga sebelah, segera bangkit dari kasurnya ketika ia mendengar suara bentakan yang sangat ia hafal siapa sang pemilik suara.

"Dua puluh tahun, Pak! Dua puluh tahun! Kalau tahu begini jadinya, Ibu nggak akan pernah izinin Bapak keluar kota!"

Kedua alis Shana tertaut ketika mendengar ibunya juga ikut bersuara. Tak pernah ia mendengar kedua orang tuanya bertengkar sedemikian hebat seperti malam ini. Jika ada masalah, baik Ibu atau Bapak pasti langsung menyelesaikan dengan berbicara empat mata secara baik-baik.

Tak ada bentakan, tak ada tangisan seperti malam ini.

Shana ingin membuka pintu namun ia begitu takut. Suara ringisan Ibu semakin kencang, membuat hati Shana bergetar. Terputar berjuta pertanyaan di kepalanya tentang apa penyebab pertengkaran kedua orang tuanya yang tak biasa ini.

"Tega Bapak selingkuhin Ibu! Tega!"

Kedua mata Shana sontak melotot. Tubuhnya lemas. Tanpa permisi, air matanya luruh. Jawaban mengapa pertengkaran itu terjadi, sudah terjawab. Sebuah jawaban yang mati-matian ia doakan pada Tuhan agar tak pernah tertulis di hidupnya.

Tiga bulan lalu, Bapak memang mendadak ditugaskan keluar kota oleh perusahaan tempat ia mencari nafkah selama satu minggu. Setelah pulang,  Bapak lebih banyak diam dan acuh tak acuh pada keluarganya. Shana pikir, mungkin karena banyaknya pikiran akan pekerjaan. Namun ternyata salah, ia salah besar.

Bukan pekerjaan yang membuat Bapak berubah, namun karena ada wanita lain yang diam-diam ikut mengambil tempat di hati dan pikiran Bapak.

Bapak yang baru pertama kali selingkuh, tentu tak sepandai orang yang sudah berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Sebuah pesan singkat yang masuk di ponsel Bapak yang tak terkunci, Ibu baca dengan hati yang teriris. Pesan singkat yang menyebabkan meledaknya pertengkaran dua insan yang sudah saling mencintai dan hidup bersama selama 20 tahun.

....

Tiga hari setelah pertengkaran itu, Ibu meninggal dunia. Shana syok berat, sementara Bapak hanya diam bagai patung. Shana tak melihat ada rasa bersalah pada Bapak. Rasa benci itu sedikit demi sedikit mulai muncul di hati Shana.

Mengiris lengannya sendiri adalah jalan terakhir yang Ibu pilih karena tak kuat menghadapi pujaan hati yang tega mengkhianati cintanya. Tetangga tak ada yang tahu penyebab kematian Ibu karena Bapak sudah lebih dulu berbohong dengan mengatakan bahwa Ibu meninggal karena serangan jantung. Bapak takut orang-orang akan menganggapnya bajingan jika ia berkata jujur.

"Shana, Bapak keluar sebentar, ya. Kamu jangan lupa makan."

Shana tak menjawab apa pun. Masih teringat jelas di otaknya bagaimana Ibu terbujur kaku di ruang tamu  tiga hari lalu. Dilihat banyak orang dan juga didoakan. Shana berpikir, kematian Ibu tak akan terjadi jika Bapak tak berselingkuh.

Shana membenci Bapak mulai hari itu.

"Shana."

Untuk melirik Bapak walau hanya sekejap pun rasanya Shana enggan. Karena tak ditanggapi, Bapak pun mendekati Shana yang sedang menatap kosong ke jendela.

"Sudah tiga hari kamu begini. Ngomonglah, Shana. Kamu pikir Bapak nggak tersiksa kamu begini terus? Yang sudah terjadi biarlah terjadi."

Shana tersenyum sinis. Enteng sekali Bapak mengatakan demikian. Seolah-olah tak sedang berbuat dosa besar.

"Shana?"

"Bapak mau keluar ke mana? Ke tempat selingkuhan Bapak, kan?"

Bapak bersusah payah menelan ludah setelah Shana mengatakan demikian dengan tatapannya yang dingin.

"Ibu bahkan belum tiga hari meninggal, tapi Bapak kayaknya nggak peduli. Lebih peduliin perasaan selingkuhan Bapak yang ngambek karena istri sah "pacarnya" meninggal dan nggak nyamperin dia tiga hari."

Tak pernah Shana selancang ini pada kedua orang tuanya. Kejadian itu, terutama setelah mendengar Bapak selingkuh, telah merobek kesopanannya dalam berbicara pada orang tua. Hidupnya hancur hanya dalam waktu beberapa hari hanya karena perempuan sialan tak tahu diri itu.

"Kamu belum paham kenapa Bapak bisa selingkuh, Shana. Rumah tangga nggak seindah yang kamu kira. Ada hal yang kamu nggak tau, termasuk kekurangan ibumu yang bikin Bapak berpaling."

"Apapun kekurangan pasangan bukan berarti harus selingkuh, Pak."

Shana mengepal kuat tangannya. Jika tak kenal dosa, sudah ia layangkan bogem mentah pada laki-laki ini. Sungguh, entengnya omongan Bapak dalam membuat-buat alasan untuk membenarkan selingkuh membuat Shana meledak.

Bapak hanya diam seribu bahasa. Entah kenapa ia tak bisa melawan Shana seperti ia membantah Almarhumah istrinya saat itu.

"Bapak kalo mau pergi, pergi aja. Samperin si per** itu. Shana nggak peduli. Nggak usah pulang sekalian. Hidup Shana kayaknya lebih damai kalo nggak ada Bapak."

Shana mendorong Bapak keluar kamar dan langsung membanting pintu setelah laki-laki itu keluar. Ia menangis sejadi-jadinya, berteriak sekuat tenaga. Hatinya terluka begitu dalam. Ia rindu Ibu.

....

Shana mencoba untuk makan, namun rasanya susah sekali untuk menelan walau hanya sesuap. Ia kembali teringat Ibu yang biasanya suka memasak makanan kesukaannya, sop ayam.

"Ibu pasti belum bisa tenang, kan, Bu? Siapa yang bisa tenang kalo mati dalam keadaan sedih karena dikhianati?"

Shana mengusap air matanya. Bahkan tahlilan pun tak Bapak adakan karena malu dengan kondisi Shana yang seperti kurang waras. Benar apa yang Shana katakan. Bapak memilih untuk mengunjungi perempuan simpanannya ketimbang melihat Shana yang pasti akan membuatnya ikut gila. Tak sadar bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab semua kekacauan ini.

Shana membuang makanan yang lauk pauknya Bapak beli tadi siang di rumah makan. Setelah mandi, ia pun masuk lagi ke kamar. Mengurung diri adalah cara terbaik saat ini menurutnya.

Shana membuka ponselnya yang sudah tiga hari ini ia tak lihat. Banyak ucapan belasungkawa dari teman-teman sekolahnya, namun Shana enggan untuk membalas. Tak sampai lima menit, ia kembali meletakkan ponselnya. Hatinya yang hancur lebur membuat jemarinya tak mampu hanya untuk sekedar memegang ponsel.

Terlebih ketika melihat wallpaper ponselnya di mana ia, Ibu, dan Bapak tersenyum bahagia di sana. Foto terakhir sebelum perempuan murahan itu datang menghancurkan segalanya.

"Bu, kalo Shana bales perbuatan perempuan itu ke Ibu, boleh nggak? Shana nggak bisa ngebiarin perempuan itu hidup tenang sama Bapak sementara Ibu sampe bunuh diri karena dia."

Tak lama, ponsel Shana berbunyi. Bapak yang menelpon. Shana malas merespon. Namun karena Bapak terus-terusan memanggil bahkan setelah lima kali didiamkan, Shana pun menyerah dan menjawab telpon dengan malas.

"Ini dengan anaknya Bapak Muji, ya?"

Bukan suara Bapak. Mendadak perasaan Shana tak enak.

"Siapa ini?"

Tatapan malas itu berubah menjadi tatapan tak percaya. Doanya tadi siang terkabul. Baru tiga hari ia ditinggal mati ibunya, kini Shana harus menghadapi kabar duka lagi.

Bapak meninggal. Kecelakaan setelah tersenggol mobil lalu terjatuh kemudian terlindas truk yang melintas. Tewas di tempat.

Kini, ia benar-benar sendirian di dunia ini.

Sebuah kabar duka yang semakin menghancurkan batinnya.

...



The PlanWhere stories live. Discover now