1.SATU-SATUNYA JALAN
Kematian sekalipun tak akan menekukkan lututnya di
hadapan musuh, tetapi hidup berkeinginan lain. Pada
sisa napasnya yang tak banyak lagi, pintu kematian malah mengungkap kenyataan pahit yang selama ini ia
sangkal Musuh terbesarnya merupakan satu-satunya pilihan
tersisa Satu-satunya jalan. Siang itu di Kota Jakarta, di gedung
warisan zaman kolonial yang telah direnovasi menjadi rumah
pemenangan, Yuda mengibarkan bendera putih.Sepanjang hidupnya yang genap memasuki tiga perempat
abad, Yuda hanya pernah menahbiskan satu orang di tampuk
musuh. Perang yang ia pertahankan dan rayakan tujuh belas
tahun lamanya Poster beraneka desain memenuhi dinding ruangan tempat ia menunggu. Yuda merasa dikepung. Sejak memasuki Kota
Jakarta, pemandangan serupa telah menerornya dalam bentuk
balho dan spanduk. Foto musuhnya ada di mana-mana. Muka
tampan yang tak banyak berubah sejak kali pertama merek
bertemu, tetap klimis dan terlihat simpatik, hanya sediki
lebih berisi. Senyumannya persis sebagaimana ingatan Yuda.Gigi berderet rapi, segaris lesung di pipi kanan, dagu terbelah.
Di bawah foto-foto itu tertulis nama Guntur Putra Sasmita
diskuti slogan Muda Cerdas, Beringrinas.
Panas dan sesak tahu-tahu menjalar cepat di dadanya bagai
semburan api. Yuda terbaruk-batuk keras sampai punggungnya
terlipat.***
BERBEDA dari poster dirinya yang tersenyum lebar, senyum
yang menganugerahinya julukan kandidat paling fotogenik, di
bawah bingkai poster itu Guntur terduduk dengan raut tegang.
Keningnya berkerut-kerut seperti berpikir keras. Pelan dan
penuh selidik, Guntur memutar kursi kerjanya ke kanan dan
ke kiri. Pendengarannya tak salah. Ada bunyi mencicit yang
mengikuti setiap gerakannya.Semakin lamban ia bergerak,
semakin kentara suara cicit itu.
Pintu mahogani di hadapannya membuka. Perempuan
dengan kacamata berbingkai runcing menyerupai bentuk
mata kucing memasuki ruangan."Lia. Ini kursi kenapa kayak ada tikus kejepitnya, sih? Bisa
diservis, nggak? Atau dikasih pelumas, kek? Ganggu banget,"
cetus Guntur.Dahlia teringat betapa sulitnya mendapatkan slot gunting
rambut dan pewarnaan di Sun Young, salon Korea yangsedang jadi perbincangan perempuan se-Jakarta Selatan, sampai-sampai ia harus mengandalkan berbagai koneksi
agar reservasinya berhasil tembus kemarin malam.Dengan penampilan barunya hari ini, Dahlia berharap setidaknya ia
mendapatkan sebaris pujian dari Guntur sebelum komplain
tentang tikus kejepit."Nanti aku kasih tahu ke OB,"balas Dahlia ketus,
"Sekarang. Please
"Kamu ingat jam sebelas kita sudah harus sampai di DPR,
kan? Janji sama Pak Farid, Komisi 3?"
Ingat, lah. Kita jalan lima menit lagi, kan?" Guntur melirik
jam dinding besar di atas pintu."Terus, kenapa kamu bikin janji sama orang lain dan nggak
konfirmasi ke aku dulu?""Janji apa?"
"Itu ada yang nunggu kamu di depan. Orangnya datang
jauh-jauh dari luar kota. Katanya, urusan mendesak. Hidup
dan mati. Drama banget, pokoknya.""Siapa, sih?"
"Yuda––" Dahlia memicingkan mata, memorinya menjemput sepotong nama belakang, "-––Alexander. Dari
Cijulang."Guntur tak ingat apa sarapannya, bahkan tak ingat apakah
ia sarapan atau tidak, entah makanan atau cuma angin.
Namun, begitu nama itu terdengar, terasa ada jotosan keras
menghantam ulu hati, membuat Guntur ingin memuntahkan
isi perutnya sekaligus.———
Office boy.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPIJALI
Teen FictionPing merasa telah memiliki segala yang ia butuhkan, Dunianya yang damai di Pantai Batu Kertas, Rumahnya yang penuh alat musik di tepi sungai cijulang, seorang sahabat terbaik, serta kakek yang menyayanginya. Namun diam-diam Ping menyimpan kegelisaha...